'Jadi Youtuber Pak', jawaban spontan seorang anak yang membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) kaget, lalu tertawa. Saat itu, dalam peringatan Hari Anak Nasional Tahun 2017 di Pekanbaru, Riau, Presiden memanggil seorang anak naik ke panggung. Presiden bertanya, apa cita-citanya? Jawaban spontan itulah yang disampaikan Rafi Fadilah, siswa kelas VI SD.
Kita memang berada di era yang berbeda. Dulu, cita-cita anak adalah menjadi dokter, insinyur, pilot, astronot, dan sebagainya. Namun era digital memantik shifting besar-besaran. Content creator menjadi profesi yang kini diimpikan anak-anak. Tidak hanya di Indonesia, tapi juga di seluruh dunia.
Pandemi COVID-19 mengakselerasi shifting itu. Ledakan konten pun tak terhindarkan. Data Cisco Visual Network Index (VNI) menunjukkan, konten video kian menunjukkan dominasinya. Secara global, pada 2016, 73 persen dari total traffic internet digunakan untuk mengakses video. Pada 2021, angkanya sudah menyentuh 82 persen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pola work from home (WFH) dan school from home (SFH) juga mengubah peta konsumsi internet. Jika sebelumnya lebih banyak kebutuhan download, sejak WFH dan SCH dimulai kebutuhan upload juga naik. Ditambah lagi dengan intensitas pertemuan online, konsumsi internet pun melonjak.
Ujungnya, kebutuhan terhadap kualitas jaringan internet yang cepat dan stabil naik tajam. Di sini, peran jaringan Fiber To The Home (FTTH) yang menggunakan serat optik kian penting.
Sayangnya, penetrasi FTTH dan Fiber To The Building (FTTB) Indonesia hanya 10,4 persen (data 2019), termasuk salah satu yang terendah dibanding emerging countries lainnya. Misalnya, Malaysia yang sebesar 23,4 persen atau Vietnam yang bahkan sudah mencapai 50,7 persen.
Secara geografis, membangun jaringan serat optik di negara kepulauan butuh upaya ekstra. Besarnya investasi jaringan membuat tak semua pemain di industri ini mau dan mampu melakukannya. Sebagian besar hanya berkerumun di perkotaan yang pasarnya sudah terbentuk.
Karena itu, BUMN PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk menjadi tumpuan, karena ia tak hanya mengejar profit belaka. Sebagai Milik Negara, ia berkewajiban untuk berkontribusi dalam pembangunan infrastruktur telekomunikasi agar lebih merata, termasuk di wilayah yang secara keekonomian kurang atau bahkan tidak menguntungkan.
Asumsi vs Fakta
Tak dipungkiri, banyak konsumen yang sensitif terhadap harga. Sehingga muncul kekhawatiran apabila penyedia internet kalah bersaing harga, maka bakal ditinggal konsumen. Tapi, jika pelaku usaha internet terjebak di perang harga, maka akan kontraproduktif terhadap kualitas layanan yang nantinya akan diberikan pada konsumen. Sebab tanpa fondasi finansial yang kuat, investasi untuk pengembangan jaringan maupun inovasi berkelanjutan akan terhambat.
Lantas, jika Telkom harus mengalokasikan dana besar untuk membangun jaringan di wilayah yang kurang menguntungkan, apakah lantas IndiHome sebagai produk Telkom mematok tarif mahal? Banyak orang berasumsi seperti itu.
Tapi, apakah benar? Kita ambil saja contoh paket internet dengan kecepatan 20 Mbps dan 30 Mbps yang paling banyak digunakan konsumen. Harga paket sambungan IndiHome justru paling murah dibanding kompetitor yang lain.
Sekarang, mari kita lihat beberapa parameter untuk mengukur kualitas layanan internet, di antaranya throughput dan latency. Throughput adalah realisasi kecepatan yang didapat pelanggan dengan jumlah paket yang ditawarkan. Adapun latency adalah waktu delay atau nge-lag.
Dua hal ini menjadi case study yang menarik. Sebab dari berbagai riset, salah satunya Enciety Business Consult, menunjukkan fakta bahwa sepanjang Semester I 2022, throughput IndiHome sebesar 95 persen dan angka latency-nya 5 millisecond. Untuk dua parameter tersebut, IndiHome termasuk yang terbaik.
Jika tarif IndiHome ternyata sangat kompetitif dan kualitas layanannya pun termasuk yang terbaik, lantas kenapa kita lebih sering mendengar komplain pelanggan terhadap IndiHome melalui media sosial? Untuk menjawab itu, saya ajak Anda untuk menyelami adagium ini 'A happy customer tells a friend, an unhappy customer tells the world'.
Saat ini, IndiHome menguasai 80 persen pangsa pasar fixed broadband. 20 persen sisanya dipegang oleh banyak provider lainnya. Misalnya, jika total ada 1.000 pelanggan, maka 800 di antaranya adalah pelanggan IndiHome. Apabila dari 800 pelanggan tersebut 5 persen mengajukan keluhan, maka akan muncul 40 suara komplain di media sosial.
Sementara itu, provider lain memiliki 100 pelanggan. Misalnya jika 20 persen di antaranya mengajukan komplain, maka yang muncul di media sosial adalah 20 komplain. Jadi, meskipun secara persentase komplain terhadap IndiHome jauh lebih sedikit (5 persen dibanding 20 persen), namun secara jumlah tetap terkesan lebih banyak.
Berbagai fakta di atas menunjukkan, IndiHome kompetitif dan termasuk yang terbaik. Tentu, continuous improvement harus dijalankan, termasuk perluasan infrastruktur jaringan, agar internet yang berkualitas bisa dinikmati lebih merata oleh konsumen di seluruh Indonesia.
Prof. Rhenald Kasali, Ph.D, Founder Rumah Perubahan
Akademisi dan praktisi bisnis asal Indonesia. Dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada tahun 2009.
(ads/ads)