Jakarta -
Tiga anak perempuan tampak lesehan di pinggir sungai dengan alas duduk seadanya. Sesekali mereka melihat smartphone, lalu mencocokkan sesuatu dengan kertas dan buku yang berserakan di antara mereka. Ketiganya sedang tekun mengikuti sekolah online.
Anak-anak ini, para pelajar di Kecamatan Kinal, Kabupaten Kaur, Bengkulu, butuh perjuangan ekstra mengikuti kegiatan belajar saat pandemi COVID-19. Bagaimana tidak, di Kecamatan dengan 14 desa itu tidak ada sinyal telekomunikasi, apalagi untuk terhubung ke internet. Siswa harus menempuh perjalanan setidaknya tiga kilometer setiap hari demi akses internet. Di mana ada sinyal ditemukan, di situ mereka akan berhenti dan mengerjakan tugas sekolah.
"Hal yang menyedihkan ini bukan hanya (dialami) adik-adik sekolah. Warga mau menghubungi keluarga itu susah, mesti janjian dulu. Misalnya, SMS dulu mau telepon, baru telepon kita. Karena kalau kita telepon mereka itu nggak bakalan nyambung," tutur tokoh pemuda setempat bernama Tomi Defantri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
 Pelajar di Kecamatan Kinal, Kabupaten Kaur, Bengkulu, kesulitan mengikuti belajar online, karena ketiadaan infrastruktur telekomunikasi di sana. Foto: Tomi Defantri |
Ironis mengetahui bahwa di tengah laju kecanggihan dan perkembangan teknologi yang pesat, cerita seperti ini masih kerap kita dengar. Adik-adik di Kecamatan Kinal bukan satu-satunya yang masih harus berjuang mendapatkan sinyal telekomunikasi. Di berbagai daerah di Indonesia, banyak pejuang sinyal yang susah payah melawan kesenjangan digital.
Makin memprihatinkan melihat kenyataan bahwa pandemi COVID-19 telah menambah satu kebutuhan pokok baru masyarakat: akses internet. Di saat hampir semua orang kini harus sekolah dan bekerja di rumah, kebutuhan untuk mencari informasi dengan cepat, dan selalu terhubung dengan kerabat, akses internet tentu saja merupakan keniscayaan.
Nyatanya, di HUT RI ke-76 mimpi Indonesia merdeka sinyal belum terwujud. Menurut Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), ada 12.548 desa/kelurahan belum terjangkau internet. Pemicu utama kesenjangan digital ini adalah masih belum meratanya pembangunan infrastruktur, khususnya untuk telekomunikasi di daerah terpencil.
Selanjutnya: Rampungkan Tol Langit dan Kebut Satelit Satria
Rampungkan Tol Langit dan Kebut Satelit Satria
Dalam upayanya meretas jalan menuju kemerdekaan sinyal, pemerintah melalui Kementerian Kominfo bekerja merampungkan Peta Jalan Indonesia Digital 2021-2024. Menteri Kominfo Johnny G Plate menyatakan, peta jalan itu sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo untuk mempercepat transformasi digital dengan empat fokus utama.
Peta Jalan Indonesia Digital yang pertama adalah, percepatan infrastruktur untuk memperluas akses masyarakat terhadap internet. Kedua, mendorong adopsi teknologi. Ketiga, peningkatan talenta digital, dan yang keempat, menyelesaikan regulasi pendukung yang bertujuan untuk menyiapkan masyarakat digital.
"Percepatan infrastruktur digital menjadi fondasi utama untuk menghadirkan layanan digital dan mendukung transformasi digital sesuai program yang dicanangkan pemerintah pusat," kata Menteri Johnny.
BAKTI pun ditugaskan "blusukan" khususnya ke wilayah pelosok untuk menghadirkan sinyal telekomunikasi di sana. Ada tiga program utama yang dilakukan BAKTI untuk memboyong internet agar bisa sampai ke daerah Tertinggal, Terluar, dan Terdepan (3T), yaitu proyek Palapa Ring, BTS USO 4G, dan Satelit Republik Indonesia (Satria).
Khusus yang terakhir, beberapa pihak memperingatkan agar jangan sampai Satria tumpang tindih dengan Palapa Ring. Sejumlah pengamat menyarankan agar pemerintah memprioritaskan salah satunya.
Alih-alih mengebut proyek Satria, pengamat menyarankan agar Palapa Ring yang sudah diresmikan Oktober 2019 dimaksimalkan dulu. Satria dinilai bisa mengkanibal Palapa Ring, mengingat satelit berjenis VHTS (very high throughput satellite) itu punya misi memancarkan akses internet ke wilayah Indonesia, dan tugas itu juga dilakukan oleh Palapa Ring.
"Satelit menawarkan teknologi luar biasa yang bisa menjangkau di mana pun kita berada, meski berada di tengah hutan sampai tengah laut," kata Direktur Utama BAKTI Anang Latif menjawab pertanyaan tersebut.
Palapa Ring atau yang sering disebut dengan istilah Tol Langit, adalah proyek pembangunan jaringan serat optik nasional yang menjangkau sebanyak 34 provinsi, 440 kota/kabupaten di seluruh Indonesia dengan total panjang kabel laut mencapai 35.280 kilometer, dan kabel di daratan sejauh 21.807 kilometer.
Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan menjadi tantangan tersendiri dalam mempersatukan Nusantara melalui infrastruktur digital. Karenanya, penggelaran kabel optik melalui Palapa Ring tidak mudah. Pemanfaatan satelit kemudian dinilai sebagai solusi untuk bisa menyebarkan internet ke seluruh wilayah Indonesia yang belum terjangkau BTS dan Tol Langit.
"Satelit Satria akan melengkapi proyek infrastruktur telekomunikasi yang sudah dibangun lewat Palapa Ring dan BTS USO," sebut Anang.
Selanjutnya: Satria Mengangkasa di 2030
Satria Mengangkasa di 2030
BAKTI menargetkan ada empat satelit diluncurkan sampai tahun 2030, yaitu Satria-1, Satria-2a, Satria-2b, dan Satria-3. Sejauh ini, yang sudah pasti adalah satelit Satria-1 yang telah mendapatkan pendanaan dan dijadwalkan meluncur pada 2023. Thales Alenia Space sebagai pabrikannya, dan SpaceX yang membuat roket Falcon 9, akan membawa Satria melesat ke angkasa dari Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat.
Penyediaan proyek satelit ini menggunakan skema kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Satelit dikerjakan oleh PT Satelit Nusantara Tiga (SNT), perusahaan yang dibentuk oleh pemenang tender yang terdiri dari PT Pintar Nusantara Sejahtera, PT Pasifik Satelit Nusantara, PT Dian Semesta Sentosa, dan PT Nusantara Satelit Sejahtera.
Adapun total kebutuhan pendanaan proyek Satria-1 senilai USD 545 juta atau sekitar Rp 7,68 triliun. Nilai tersebut terdiri dari porsi ekuitas sebesar USD 114 juta dolar atau sekitar Rp 1,61 triliun, dan pinjaman USD 431 juta atau setara dengan Rp 6,07 triliun.
SNT selaku badan usaha swasta yang mengoperasikan Satria-1 telah menggaet investor untuk pendanaan, yakni BPI France (Bank Kredit Ekspor Perancis) yang didukung oleh Banco Santander, HSBC Continental Europe, dan The Korea Development Bank (KDB), serta Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dari China.
Pandemi COVID-19 yang sedang melanda, tidak menghalangi upaya peluncuran satelit Satria-1. Pemerintah benar-benar berharap Satria-1 bisa meluncur sesuai jadwal yang ditargetkan.
Saat diluncurkan nanti, Indonesia akan menjadi negara keempat di dunia setelah Amerika Serikat, Luksemburg, dan Kanada yang memiliki satelit internet berkecepatan tinggi. Satria akan menjadi satelit internet terbesar yang pernah dimiliki negara di Asia dengan kapasitas sebesar 150 Gbps.
Kapasitas itu, sangat mumpuni untuk menaungi layanan internet pada 150.000 titik (spot) di seluruh Nusantara yang belum tertangani Palapa Ring, yakni sebanyak 54.400 titik di Sumatra, diikuti Sulawesi (23.900 titik), Jawa (19.400 titik), Kalimantan (19.300 titik), Papua dan Maluku (18.500 titik), serta sebanyak 13.500 titik di Bali dan Nusa Tenggara.
Semoga mimpi merdeka sinyal dan seluruh Nusantara menyatu terhubung melalui internet, akan terwujud ketika Satria mengorbit di tahun 2023. Atau, siapa tahu keinginan itu bisa terkabul lebih cepat? Pastinya akan lebih baik. Ya, semoga saja.