Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dinilai bisa memaksimalkan penerimaan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) lewat Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi untuk mengurangi defisit APBN.
Pada webinar yang diselenggarakan Sobat Cyber Indonesia baru-baru ini, Geryantika Kurnia, M.Eng, MA, Direktur Penyiaran, Ditjen PPI, Kominfo berbicara tentang potensi peningkatan PNBP dari optimalisasi pemanfaatan frekuensi 700 MHz dan 2600 MHz.
Kedua frekuensi tersebut saat ini dimanfaatkan untuk penyiaran namun tidak memberikan pendapatan yang optimal bagi negara. Seharusnya pada tahun 2018 program analog switch off (ASO) penyiaran sudah dilakukan. Agar frekuensi 700 MHz yang saat ini masih dipergunakan oleh industri penyiaran terestrial dapat dimanfaatkan oleh industri telekomunikasi untuk menyediakan layanan 5G.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Geryantika menganggap migrasi industri penyiaran ke digital ini tak hanya memberikan manfaat bagi negara. Tetapi juga bagi industri penyiaran itu sendiri seperti kualitas gambar dan suara yang lebih baik serta efisiensi dari sharing infrastruktur yang akan menghemat energi dan biaya operasional hingga empat kali lipat.
Geryantika memaparkan data Boston Consulting Group yang menyebutkan ASO akan menghasilkan multiplier effect untuk ekonomi digital Indonesia.
Seperti adanya tambahan 181 ribu kegiatan usaha, 232 ribu tambahan lapangan kerja, tambahan pendapatan negara dalam bentuk pajak dan PNBP yang mencapai Rp 77 triliun dan peningkatan kontribusi pada PDB nasional hingga Rp 443,8 triliun.
Namun pemanfaatan frekuensi 700 MHz ini masih harus menunggu revisi UU penyiaran dalam RUU Cipta Kerja. Jadi untuk saat ini, Kominfo bisa mempertimbangkan pemanfaatan frekuensi 2300MHz untuk tambahan PNBP dari sektor telekomunikasi.
Salah satunya dengan menyesuaikan harga BHP frekuensi yang saat ini dipegang oleh Smartfren. Setidaknya ini yang dikatakan oleh Heru Sutadi, pengamat telekomunikasi, yang mengaku sebagai salah satu orang yang tak setuju alokasi 30MHz ke Smartfren di 2.300MHz.
"Saya tidak setuju dikarenakan pada saat itu alokasi yang diberikan oleh pemerintah ke Smartfren tidak melalui proses yang lazim. Prosesnya pun tak transparan. Tidak dibuka kepada publik. Kenapa Smartfren mendapatkan frekuensi sebesar itu. Mekanisme yang lazim dilakukan adalah dengan lelang," ujarnya.
"Jika mekanisme tersebut dilakukan seharusnya Smartfren membayar 3x biaya lelang. Sebagai pembanding, pemenang lelang frekuensi 2300 MHz di 2017 membayar lebih dari Rp 3 triliun dengan BHP per tahun sebesar lebih Rp 1 triliun. Untuk case Smartfren tidak ada upfront fee dan jaminan 1 tahun BHP frekuensi. Mereka hanya membayar BHP tahunan sebesar Rp 463 miliar," terang Heru.
Heru menduga tak dikenakannya upfront fee dan jaminan 1 tahun BHP ini disebabkan Smartfren seolah-olah sudah memiliki frekuennsi 1900 MHz. Sebelum mendapatkan alokasi frekunsi 2300 MHz di Agustus 2014, Smartfren merupakan operator yang menduduki alokasi frekuensi 1900 MHz dengan lebar pita hanya 6,75 MHz.
Namun karena frekuensi tersebut akan dipergunakan untuk layanan 4G, pemerintah memindahkan Smartfren ke frekunesi 2300 MHz. Lalu frekuensi Smartfren yang sejatinya hanya 6,75 MHz di 1900 MHz, pada saat migrasi ke 2300 MHz, mereka mendapat alokasi berlimpah dengan lebar pita 30 MHz.
Menurut Heru jika awalnya hanya memiliki 6,75 MHz, di frekuensi 1900 MHz, idealnya pada saat pemerintah memindahkan Smartfren ke frekuensi 2300 MHz, seharusnya maksimal frekuensi yang didapatkan hanya 15 MHz di frekuensi 2300 MHz.
Agar negara bisa mendapatkan kembali haknya yang optimal dari frekuensi 2300 MHz, Heru menyarankan kepada Kominfo untuk dapat melakukan evaluasi keseluruhan terhadap frekuensi 2300 MHz Smartfren. Termasuk menyesuaikan BHP frekuensi yang selama ini mereka bayarkan kepada negara.
"Kominfo kan saat ini tengah melakukan evaluasi dan berencana akan melelang frekunesi 2300 MHz. Nantinya dari evaluasi menyeluruh tersebut Kemenkominfo bisa melakukan evaluasi pembayaran BHP frekuensi Smarfren yang belum optimal tersebut. Saat ini kan kita punya acuan pembayaran BHP frekuensi 2300 MHz hasil lelang," jelasnya.
"Kominfo tidak perlu takut untuk mengevaluasi hal ini karena dahulu di tahun 2003 pernah ada preseden dimana BHP frekuensi operator ditinjau ulang melalui mekanisme price talking policy. Ketika ada lelang 3G semua BHP frekuensi di 2100 MHz menyesuaikan dengan harga terbaru. Seharusnya Kominfo bisa membuat kebijakan mengenai harga baru BHP frekuensi untuk operator yang sudah terlebih dahulu di frekuensi tersebut," tutup Heru.