Di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, misalnya, keterikatan mereka dengan Indonesia kini kian erat dengan siaran TV dan radio dalam negeri. Dulu, mereka lebih mengenal siaran TV negara tetangga Malaysia, karena sulit menikmati tontonan TV Indonesia.
"Sekarang bisa menonton siaran TV Indonesia. Kalau dulu sering dibilang tidak pernah menonton TV Indonesia, sekarang sudah. Kalau menonton TV tergantung parabola," kata Bupati Sanggau Paolus Hadi, saat ditemui detikINET bersama tim Tapal Batas detikcom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menonton TV Malaysia bukan berarti mereka cinta Malaysia, tapi karena memang infrastruktur dan peralatan kita masih kurang, sehingga mereka lebih banyak mengenal Malaysia," kata Kadis Kominfo Kabupaten Sanggau Yulia Theresia.
Faktor ekonomi juga tak lepas dari masalah ini. Mahalnya satelit parabola membuat sebagian warga lebih memilih membeli antena UHF untuk ketersediaan hiburan di rumah.
Dengan antena UHF, sejumlah stasiun TV negara tetangga dapat dijangkau. Lain halnya dengan sejumlah siaran TV di Indonesia, masyarakat harus menggunakan satelit parabola untuk mendapatkannya.
Alhasil, meski warga perbatasan sudah lebih akrab dengan siaran TV dan radio Indonesia dibandingkan beberapa tahun lalu, mempermudah akses informasi dalam negeri masih jadi PR yang harus diselesaikan.
Yulia mengakui, belum banyak yang Dinas Kominfo Sanggau bisa lakukan. Sejauh ini, setiap tahun Dinas Kominfo Sanggau baru bisa membeli beberapa unit TV dan radio yang kemudian dibagikan ke desa-desa binaan.
"Setiap tahun (beli) TV 21 inch 3 (unit) dan radio 20 (unit). Dengan radio masyarakat bisa dengar siaran berita atau hiburan sambil ke ladang atau sawah. Sebenarnya kami membutuhkan banyak TV dan radio. Idealnya satu kepala keluarga dapat 1 radio," terangnya.
Yulia berpendapat, isu ini tidak berpengaruh pada lemahnya rasa nasionalisme. Di wilayah perbatasan, kecintaan warga Indonesia terhadap negara menurutnya tak perlu diragukan.
"Kalaupun sering kita dengar mereka ditanya siapa Presiden RI, jawabnya Perdana Menteri Malaysia atau negara lain atau mereka lebih 'mengenal' Malaysia, itu semata karena keterisolasian mereka dari pembangunan dan informasi dari negerinya sendiri. Cinta NKRI buat masyarakat perbatasan adalah harga mati," tegasnya.
Dia bercerita, warga perbatasan yang banyak dikenalnya, walaupun mereka punya keluarga di Malaysia, mereka bisa menempatkan dirinya sebagai orang Indonesia. Orang-orang ini sadar bahwa mereka ikut menjaga batas negara. Maka, tidak ada alasan untuk tidak memprioritaskan mereka. Yulia juga menekankan pentingnya kemudahan akses informasi dari dalam negeri bagi warga perbatasan.
"Kemudahan menikmati siaran TV dan radio dalam negeri akan berpengaruh terhadap penilaian fungsi atau peran pemerintah dalam membangun kesejahteraan, keadilan dan perhatian kepada masyarakat perbatasan. Apalagi kalau pemerintah telah memperhatikan mereka. Seperti saat ini (Presiden) Jokowi mencintai rakyatnya di pinggiran negeri," tutupnya.
Simak cerita lainnya dari wilayah perbatasan di Tapal Batas detikcom. (rns/rou)