Dengan keunggulan itu, tentu harapannya ekonomi digital akan menjadi pemicu pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa depan. Tapi, untuk mewujudkan itu tidak semudah membalik telapak tangan.
Hal itu dikemukakan para pembicara dalam diskusi refleksi akhir tahun yang digelar ITF. Dukungan tersebut harus muncul dari pemerintah hingga dukungan ketersediaan infrastruktur yang memadai agar ekonomi digital terus tumbuh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya ketika Indonesia masuk ke jaringan 5G, tantangan yang akan muncul adalah bagaimana menata jaringan backbone, backhaul, dan access dengan tepat sehingga kemanfaatannya dapat dirasakan dengan maksimal.
Sementara itu, menurut Agus Pambagio, pengamat kebijakan publik, industri telekomunikasi sangat dinamis mengkritik regulasi yang belum sesuai dengan perkembangan teknologi seluler.
"Yang harus dilakukan oleh Revisi UU No.36 tahun 1999 tentang telekomunikasi, dan atau segera sahkan perubahan PP No.52 dan 53 tahun 2000," ujarnya.
Pada dasarnya, tambah Agus, Kemenkominfo harus dapat melindungi dan melayani kebutuhan publik serta dapat menciptakan iklim usaha telekomunikasi yang penuh kepastian agar produk-produk kompetitif.
Agus juga mengkritik bahwa persoalan kebijakan publik semestinya tidak berpihak dengan dalih nasionalisme karena notabene tidak ada operator telekomunikasi seluler yang dimiliki Indonesia.
Agar dua aturan yang mengatur bisnis telekomunikasi itu dapat berjalan dengan baik, Agus menyarankan, bahwa perlu ada koordinasi antar kementerian atau lembaga, dengan implementasi melalui sistem online sehingga menekan kebijakan dapat transparan dan akuntabel.
Mengenai tantangan bisnis yang semakin terbuka saat ini dan masa datang, Nonot menilai bahwa tantangan terbesar adalah disharmoni sehingga boros investasi. Network sharing, contohnya, kata dia, dapat menekan risiko ini sehingga wilayah yang kurang layak secara investasi dapat menjadi layak.
Kebijakan cost-sharing melalui beragam infrastructure sharing menjadi jawaban agar pemangku kepentingan (stakeholder) industri telekomunikasi dapat semakin sehat berkompetisi.
Lagipula, tambah Nonot, cost-sharing yang dapat diartikan sebagai gotong royong dapat terlihat di industri telekomunikasi yakni setiap tahun terhimpun dana iuran kontribusi USO sekitar Rp 2 Triliun dari para penyelenggara telekomunikasi.
"Dengan kata lain, cost-sharing ini dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk dengan skema win-win solution," ujarnya lebih lanjut.
Tentu apabila dari sisi regulasi dan penerapan cost sharing itu dapat berjalan, efisiensi yang akan terjadi. Ujung-ujungnya adalah kepentingan konsumen terpuaskan.
Menurut Tulus Abadi, Ketua Pelaksana Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) kesenjangan layanan operator di pulau Jawa dan luar pulau Jawa harus dipersempit.
"Tujuan akhirnya adalah meratanya layanan seluler baik suara maupun data di seluruh Indonesia, sehingga semua masyarakat dapat merasakan manfaatnya," kata Tulus.
Artinya, kata dia, masyarakat yang akan diuntungkan bila pelaku bisnis telekomunikasi dapat berkompetisi dengan sehat dan dengan regulasi yang memihak kepentingan seluruh masyarakat. (rou/rou)