Beragam Reaksi Hitung Ulang Biaya Interkoneksi
Hide Ads

Beragam Reaksi Hitung Ulang Biaya Interkoneksi

Achmad Rouzni Noor II - detikInet
Kamis, 03 Nov 2016 18:21 WIB
Foto: detikINET/Anggoro Suryo Jati
Jakarta - Ditundanya penurunan biaya interkoneksi ditanggapi beragam. Namun pemerintah tetap pada keputusannya dan para operator kembali menggunakan acuan kesepakatan tarif perhitungan pada 2014 lalu yakni sebesar Rp 250 per menit.

Penundaan ini diumumkan dalam surat yang ditandatangani Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara tertanggal 2 November 2016 terkait Penyampaian Penetapan Perubahan DPI Milik Telkom dan Telkomsel Tahun 2016 dan Implementasi Biaya Interkoneksi.

Pengumuman ini ditanggapi beragam oleh para operator. Hal itu diakui Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Achmad M Ramli karena belum ada kesepakatan pada perhitungan awal di mana terjadi penurunan 26% menjadi Rp 204 per menit.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tidak ada kesepakatan antar operator. Ada yang setuju Rp 204 per menit, ada yang mau lain. Ada yang mau simentris, ada yang mau asimetri. Sehingga, akan dilakukan perhitungan ulang," ujarnya di sela diskusi INDEF di Hotel Intercontinental, Jakarta, Kamis (3/11/2016).

Prof Ramli, demikian ia akrab disapa, menjelaskan bahwa nantinya perhitungan akan diberikan kepada konsultan untuk dihitung agar menghasilkan besaran biaya yang paling pas dengan skema yang tepat.

"Akan ada waktu tiga bulan untuk melakukan perhitungan baru. Ini bukan buying time (ulur waktu), tetapi memberikan kesempatan untuk verifikator menyusun itu," paparnya.

Nantinya, perhitungan baru dari verifikator diharapkan menjadi acuan baru dan bisa segera diterapkan. Pasalnya, referensi biaya interkoneksi yang diputuskan dua tahun lalu akan berakhir pada 31 Desember 2016 mendatang.

"Untuk sementara waktu operator bisa menggunakan kesepakatan yang lama. Nanti setelah dilakukan verifikasi selama tiga bulan, semoga hasilnya dapat diterima oleh semua operator," jelas Ramli.

Seperti yang diketahui, BRTI telah mengumumkan hasil perhitungan baru interkoneksi pada 3 Agustus 2016 sebesar 26% menjadi Rp204 per menit. Namun, para operator tidak semuanya sepakat. Telkom dan Telkomsel mengajukan Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) sebesar Rp285 per menit sehingga BRTI harus kembali mengevaluasi.

Pasalnya, para operator tidak diperbolehkan mengajukan di atas batas maksimal yang pemerintah tetapkan yakni Rp204 per menit. Operator yang tidak satu suara ini akhirnya membuat penundaan implementasi biaya baru dan berujung perhitungan diulang kembali.

Perhitungan ulang biaya interkoneksi dilakukan sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 8 Tahun 2006 tentang Interkoneksi.

Sejak 2006, perhitungan biaya interkoneksi telah dilakukan berbasis biaya (cost based) yang dipandang adil bagi para penyelenggara telekomunikasi untuk menjamin pelaksanaannya secara transparan, non-diskriminatif dan mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuatan pasar dari penyelenggara dominan.

Perhitungan biaya interkoneksi tersebut menggunakan metode Bottom Up Forward Looking Long Run Incremental Cost (BU FL LRIC) yang dilakukan dengan mengembangkan model konfigurasi jaringan yang efisien.

Tanggapan Operator

Menanggapi penundaan tersebut, Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah menyambut baik keputusan itu. Menurutnya, Telkomsel akan menerima dan mematuhi ketentuan yang terdapat dalam surat yang diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.

"Kami tetap memberlakukan besaran biaya interkoneksi yang telah disepakati pada PKS masing-masing atau berdasarkan besaran biaya interkoneksi yang telah diimplementasikan tahun 2014," ujarnya.

Ririek menambahkan, pihaknya berharap perhitungan biaya interkoneksi tetap berdasarkan ketentuan yang berlaku, baik PP no 52 Tahun 2000 maupun PM No 8 Tahun 2006, yang menyatakan bahwa biaya interkoneksi harus berbasis biaya yang merupakan cost recovery masing-masing operator dalam menggelar jaringan sesuai komitmen pembangunannya.

Di samping itu, pihaknya tetap melihat skema asimetris sebagai model terbaik dan paling adil. "Menurut kami adalah yang terbaik dan paling adil, tidak hanya untuk operator tapi juga untuk seluruh pelanggan," tambah Ririek.

Sementara di lain pihak, operator lain banyak yang menyuarakan kekecewaan. Misalnya, President Director & CEO XL Axiata Dian Siswarini, Direktur Utama Smartfren Merza Fachys, dan Wakil Direktur Utama Hutchison 3 Indonesia (Tri) Muhammad Danny Buldansyah.

"Kami kecewa dengan penundaan tersebut. Saya yakin pemerintah melakukan review adjustment biaya interkoneksi yang sudah dimulai sejak November 2014 dengan tujuan positif yakni menyehatkan industri telekomunikasi dan memberikan keuntungan untuk pelanggan. Sehingga jika tidak jadi diberlakukan, tujuan tersebut tidak akan tercapai," papar Dian.

Dian masih berharap biaya interkoneksi dapat turun, walaupun proses yang sudah berjalan hampir dua tahun harus kembali ditunda selama tiga bulan. "Tentunya kami pun sedang menyiapkan segala kemungkinan dengan adanya penundaan ini," tambahnya.

Sedangkan menurut Danny, Tri akan mendukung putusan pemerintah walaupun kecewa. "Walaupun kami selalu mendukung keputusan pemerintah, pastinya agak kecewa. Tetapi saat ini yang menjadi lebih penting adalah bagaimana evaluasi yang berlangsung tiga bulan ini bisa dijalankan sebaik mungkin," ujarnya.

Danny berharap evaluasi tersebut bisa dilakukan oleh pihak yang independen dan tidak memiliki konflik kepentingan, sehingga hasilnya bisa dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut, ia mengungkapkan penundaan tersebut dapat berdampak pada pertumbuhan layanan suara yakni tertahan atau malah turun.

Di lain kesempatan, Merza kembali mengingatkan referensi biaya interkoneksi yang diputuskan dua tahun lalu akan berakhir pada akhir 2016 ini. "Kalau waktunya tiga bulan akan melewati batas waktu. Waktu dua bulan harusnya sudah cukup untuk memverifikasi hitungan versi mana yang benar," ucapnya.

Sementara dalam diskusi yang digelar, analis dari INDEF, Muhammad Reza, menilai perubahan dari perhitungan simetris ke asimetris akan mengakibatkan efisiensi yang tidak berkeadilan, yang ditunjukkan dari belanja modal (capex) dan biaya operasional (opex) yang sangat timpang antar operator.

"Perubahan sistem tarif interkoneksi dari asimetris ke simetris menunjukkan bahwa harga jual akhir di konsumen dapat semakin mahal," ujarnya dalam diskusi hari ini. (rou/rns)