Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menilai, kedua aturan itu memang sudah saatnya untuk direvisi guna mengantisipasi perubahan yang terjadi pada industri telekomunikasi.
"Di dunia ini industri telekomunikasi sudah sunset makanya harus sharing. Dengan sharing maka penetrasi telekomunikasi akan cepat dan pemerintah akan lebih mudah melakukan perannya melalui sarana digital," ujar Agus saat berbincang dengan detikINET.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Efisiensi, kreatif disertai regulasi yang mendukung untuk berkembang secara fair menjadi kunci utama saat ini bagi industri telekomunikasi untuk bisa berkelanjutan.
Untuk menunjang keberlangsungan industri telekomunikasi di tengah minimnya penguasaan teknologi dan resesi ekonomi dunia yang terus berkepanjangan, pemerintah harus muncul dengan pengaturan regulasi yang tegas, cerdas dan memberikan ruang industri untuk terus tumbuh bersama konsumen secara efisien bukan monopoli.
Dalam polemik ini, operator yang dominan disebut sebagai kubu yang menolak network sharing. Lantaran pemain dominan merasa sudah mengeluarkan investasi besar untuk membangun infrastruktur jaringannya.
Nah, terkait hal itu, Agus melihat sejatinya operator dominan tak perlu terlalu khawatir. Sebab perjanjian network sharing antar operator harus dilakukan secara business to business.
"Jadi tinggal dihitung saja. Yang tidak dominan harus mau berbisnis atau bayar. Di sini pemerintah tidak perlu ikut campur," lanjutnya.
Menggoyang Ombudsman
Selain itu, Agus pun mengkritisi sikap Ombudsman yang menyarankan Presiden Joko Widodo untuk tidak menandatangani revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 52/2000 dan PP 53/2000 tentang telekomunikasi karena diyakini cacat prosedur.
Dimana kala itu, anggota Ombudsman Alamsyah Saragih memaparkan ada 6 potensi maladministrasi atau cacat prosedur dalam proses revisi kedua PP tersebut.
1. Pengabaian partisipasi publik
2. Pelayanan yang diskriminatif
3. Menutup informasi tanpa mempertimbangkan kepentingan publik
4. Merugikan keuangan negara
5. Pengabaian terhadap kecenderungan praktik pemegang lisensi broker
6. Perlakuan istimewa terhadap operator
"Gak masuk akal. Mereka (Ombudsman-red.) bisa dianggap menghambat. Dari sisi mana dibilang mengabaikan partisipasi publik kan justru supaya publik bisa mendapatkan tarif murah," cecar Agus.
Ia melanjutkan, soal tudingan pelayanan yang diskriminatif justru sekarang dinilai diskriminatif karena tidak di-share. Khususnya di pasar luar Jawa yang dikuasai sampai 80% oleh pemain dominan dan menghambat pemain lain.
"Untuk poin ketiga, gak jelas apa yang dimaksud dengan menutup informasi. Kan justru semua bisa mengakses dengan tarif yang lebih murah. Tren dunia begitu," lanjutnya.
Sedangkan tudingan merugikan keuangan negara, Agus menilai interkoneksi bukan pendapatan. Tidak boleh karena itu kewajiban. "Jadi (tudingan) rugi Rp 50 triliun itu bohong," tegasnya.
Poin kelima yang dianggap pengabaian terhadap kecenderungan praktik pemegang lisensi broker dianggap Agus tidak jelas apa maksud Ombudsman.
"Keenam, justru yang sekarang ada perlakuan istimewa dengan alasan ini masih mayoritas milik RI, padahal tidak. RI cuma sekitar 34,5%, asing 35%, sisanya publik. Jadi siapa yang rewel dan menikmati monopoli?" pungkasnya. (ash/fyk)