Adapun UU yang dimaksud adalah UU Telekomunikasi Nomor 36 tahun 1999, di situ dijelaskan kalau frekuensi seharusnya dikuasai oleh negara. Sementara kalau melihat isi draft pada revisi yang ingin dilakukan Kominfo dikatakan bahwa frekuensi bisa dipindahtangankan berdasarkan keputusan Menkominfo.
Menurut Ahmad Hanafi Rais selaku Wakil Ketua Komisi I DPR RI, ini sangat berpotensi melanggar dan bakal jadi sorotan anggota dewan di Senayan. "Ini akan jadi lebih rumit, cost (dari pemegang kepentingan) juga terpengaruh. Saham provider bisa terganggu, misalnya," Kata Hanafi, di auditorium Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Senin (24/10/2016) petang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harusnya OTT seperti Google, Facebook, dan lain-lain juga harus diatur dalam UU yang baru nantinya. Baiknya dalam satu paket, dengan network sharing dan yang lain-lain juga," imbuhnya.
Perdebatan soal revisi kedua PP Telekomunikasi juga jangan selalu diarahkan ke konteks teknis atau efisiensi. Karena di balik alasan itu ada kepentingan industri, yang tak melulu menguntungkan konsumen. Hanafi juga menyarankan sebaiknya konsumen jangan selalu mengincar tarif murah, tanpa tahu mekanisme di baliknya.
Ia lantas menekankan isu panas tarif interkoneksi. Dimana seharusnya keputusan tarif interkoneksi diambil berdasarkan kesepakatan semua operator, bukan hanya dari menteri seorang.
"(Tarif interkoneksi) harusnya kesepakatan oleh semua operator, bulan dari menteri seorang. Malah surat edarannya ditandatangani oleh Dirjen. Ini menteri lepas tangan, kalau ada yang salah nanti dilempar ke Dirjen-nya," jelas Hanafi.
Lebih lanjut, Hanafi mendesak agar surat edaran tidak diberlakukan atau dicabut. Sebab kalau sebatas ditunda, takutnya ditafsirkan kalau surat edaran tersebut masih bisa diberlakukan.
"Kami akan bicarakan dengan menteri, kita akan lebih tegas. kalau menterinya ndablek, kami akan langsung ke Jokowi," pungkasnya. (yud/ash)