Langkah ini pun terus mendapat kecaman. Salah satunya oleh Hanafi Rais, Wakil Ketua Komisi I DPR RI. Menurutnya revisi terhadap kedua aturan semakin jauh mengarah ke liberalisasi.
Padahal kalau mengacu pada PP Tahun 1999, liberalisasi dalam revisi tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan penggunaan spektrum radio dan orbit satelit ini kian menjadi-jadi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ditambahkan Hanafi, revisi terhadap kedua aturan bikin keberpihakan terhadap perusahaan Nasional malah semakin jauh. Meski di salah satu klausulnya dituliskan tidak wajib, namun klausul lainnya mengharuskan perusahaan yang cakupannya sudah luas agar mau ditumpangi jaringannya oleh pesaing yang infrastrukturnya lebih sedikit.
Ironisnya, pesaing yang dimaksud kebanyakan adalah perusahaan asing. Sementara perusahaan yang memiliki cakupan luas hingga ke wilayah pelosok sejauh ini adalah perusahaan BUMN.
"Telkomsel masih menjadi satu-satunya BUMN yang 'merah-putih'. Yang lainnya sudah didominasi asing (kepemilikannya) dan kurang kompetitif (soal cakupan)," imbuhnya.
Oleh karenanya, Hanafi mengatakan kalau perusahaan yang didominasi asing tengah menjalankan apa yang disebut regulatory capture. Ini adalah sebuah metode yang memanfaatkan pemerintah lewat regulasi untuk mencapai tujuannya. Mereka menggunakan alasan rebalancing agar kompetisi bisa lebih sehat.
"Kalau dua revisi PP ini dibiarkan, saya khawatir dalam jangka menengah industri telekomunikasi tidak lagi di tangan kita. Bahayanya lagi, kita tidak lagi punya kendali atas data dan informasi, karena sudah dipegang oleh asing. Padahal kita punya kepentingan strategis di situ, tapi kita hanya akan bisa berhadapan tanpa kuasa," pungkas Hanafi. (yud/rou)