Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Asing Kian Mulus Berkuasa di Industri Telekomunikasi

Asing Kian Mulus Berkuasa di Industri Telekomunikasi


Yudhianto - detikInet

Foto: detikINET/Achmad Rouzni Noor II
Yogyakarta - Pemerintah dinilai kian memuluskan langkah asing untuk menguasai bisnis telekomunikasi di Indonesia melalui revisi PP Nomor 52 dan 53 Tahun 2000.

Langkah ini pun terus mendapat kecaman. Salah satunya oleh Hanafi Rais, Wakil Ketua Komisi I DPR RI. Menurutnya revisi terhadap kedua aturan semakin jauh mengarah ke liberalisasi.

Padahal kalau mengacu pada PP Tahun 1999, liberalisasi dalam revisi tentang penyelenggaraan telekomunikasi dan penggunaan spektrum radio dan orbit satelit ini kian menjadi-jadi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Google Loon, penurunan tarif interkoneksi, dan revisi kedua aturan ini, serta yang paling terakhir adalah revisi aturan agar tidak perlu punya data center di Indonesia. Ini bukan lagi liberalisasi, tapi sudah ultra liberalisasi," kata Hanafi di Auditorium UGM, Yogyakarta.

Ditambahkan Hanafi, revisi terhadap kedua aturan bikin keberpihakan terhadap perusahaan Nasional malah semakin jauh. Meski di salah satu klausulnya dituliskan tidak wajib, namun klausul lainnya mengharuskan perusahaan yang cakupannya sudah luas agar mau ditumpangi jaringannya oleh pesaing yang infrastrukturnya lebih sedikit.

Ironisnya, pesaing yang dimaksud kebanyakan adalah perusahaan asing. Sementara perusahaan yang memiliki cakupan luas hingga ke wilayah pelosok sejauh ini adalah perusahaan BUMN.

"Telkomsel masih menjadi satu-satunya BUMN yang 'merah-putih'. Yang lainnya sudah didominasi asing (kepemilikannya) dan kurang kompetitif (soal cakupan)," imbuhnya.

Oleh karenanya, Hanafi mengatakan kalau perusahaan yang didominasi asing tengah menjalankan apa yang disebut regulatory capture. Ini adalah sebuah metode yang memanfaatkan pemerintah lewat regulasi untuk mencapai tujuannya. Mereka menggunakan alasan rebalancing agar kompetisi bisa lebih sehat.

"Kalau dua revisi PP ini dibiarkan, saya khawatir dalam jangka menengah industri telekomunikasi tidak lagi di tangan kita. Bahayanya lagi, kita tidak lagi punya kendali atas data dan informasi, karena sudah dipegang oleh asing. Padahal kita punya kepentingan strategis di situ, tapi kita hanya akan bisa berhadapan tanpa kuasa," pungkas Hanafi. (yud/rou)





Hide Ads