Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto dalam suratnya menuding Menkominfo Rudiantara telah melanggar komitmen dengan Komisi I DPR RI karena draft sudah selesai dibahas dan dibawa ke Presiden tanpa adanya Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan parlemen sesuai kesepakatan 24 Agustus 2016.
"Dalam pemberitaan, Rudiantara menyatakan revisi kedua PP itu tinggal ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Ini mengabaikan komitmen dengan DPR RI," tegas Wisnu dalam keterangannya, Rabu (21/9/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Komisi I DPR RI akan mengadakan rapat dengan Menkominfo dan Kementerian terkait lainnya, perihal perkembangan Revisi PP Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum frekwensi radio dan orbit satelit."
"Apakah Komisi I DPR RI sudah mengadakan rapat dimaksud? Menurut pemantauan kami rapat tersebut belum dilaksanakan. Mestinya proses Revisi kedua PP tersebut berjalan sesuai kesepakatan RDP tanggal 24 Agustus 2016 yang lalu. Tetapi mengapa Menkominfo sudah lebih dahulu membuat pernyataan yang bertentangan?" tanya Wisnu.
Menurut Wisnu, konsep Network Sharing tidak dikenal dalam Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999. Sehingga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 52 tahun 2000 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 sebagai petunjuk pelaksanaan UU Nomor 36/1999 sama sekali tidak diatur mengenai network sharing.
"Menurut kami apabila network sharing wajib dijalankan oleh operator telekomunikasi, maka hal itu berpotensi melanggar Undang Undang di atasnya. Untuk itu kami dari FSP BUMN Strategis akan menyiapkan permohonan Judicial Review Peraturan Pemerintah itu ke Mahakamah Agung jika nanti jadi ditanda tangani presiden seperti yang diramalkan Menkominfo," ancam Wisnu.
"Saran kami kepada Pemerintah agar menghormati proses di DPR sesuai rapat dengar pendapat tersebut, bahkan akan lebih baik bila revisi Peraturan Pemerintah tersebut menunggu perubahan Undang-Undang No 36 tentang Telekomunikasi terlebih dahulu agar tidak melanggar Undang-Undang yang masih berlaku," pungkasnya.
Sebelumnya, beredar kabar telah selesainya draft revisi PP Nomor 52/2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan perubahan terhadap PP Nomor 53/2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit. Kedua PP ini merupakan turunan dari UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Pokok perubahan terhadap kedua PP tersebut intinya mengatur masalah backbone network (jaringan) sharing dan akses (spektrum) jaringan antar operator. Revisi kedua PP ini kabarnya telah berada di Sekretariat Negara untuk dilakukan pemeriksaan terakhir sebelum diajukan ke Presiden Jokowi untuk ditandatangani.
Dalam bocoran yang didapat media, isi draft memang menyatakan perlunya sharing atas infrastuktur Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang mencakup backbone dan jaringan.
Sharing atas backbone bersifat mandatory (wajib) sedangkan sharing atas jaringan telekomunikasi bersifat business to business (B2B) dalam keadaan tertentu yang didasarkan atas penciptaan persaingan usaha yang sehat, pencapaian efisiensi, dan perwujudan keberlanjutan penyelenggaraan jaringan.
Masih dalam dokumen yang beredar, dinyatakan pemerintah menghitung nilai investasi dan nilai kompensasi atas pelaksanaan sharing per wilayah dan dalam pelaksanaan perhitungan dapat menugaskan auditor independen. Pemerintah menetapkan biaya atas penggunaan backbone yang dibangun oleh pemerintah dan dihitung sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Sementara Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza pun langsung angkat bicara untuk menangkis tudingan tersebut.
"Mereka salah alamat menuding Pak Rudiantara. Itu konteksnya, Pak Menteri ditanya media, dan jawab sudah di Presiden. Bukan beliau yang bawa. Draft itu dibahasnya dibawah koordinasi Menkoperekonomian. Jadi, kalau mau ada protes, ke Kantor Menkoperekonomian," tegasnya.
Diungkapkannya, dalam rapat terakhir pada 7 September 2016 yang dipimpin Kemenkoperekonomian melibatkan Kementrian BUMN, Kemenkominfo, KemenKumham, Sekretariat Negara, dan Sekretaris Kabinet.
"Itu yang dihadirkan sehingga pertemuan sudah kolaboratif antar kementerian sehingga siap secara isi ketentuan dan tatacara penyusunan menjadi peraturan pemerintah dan siap diteruskan ke bapak Presiden," tukasnya.
Ditambahkannya, dalam penyusunan memang tak dilibatkan Telkom Group karena suara dari operator itu sudah diwakilkan oleh Kementrian BUMN.
"Pemilik Telkom Group itu kan diwakilkan Kementrian BUMN. Kala ini dibawa dalam koordinasi Kantor Menkoperekonomian, itu artinya antar kementrian. Suara dari Telkom Group itu sudah disalurkan ke KBUMN. Jangan ada lagi yang bilang Telkom Group tak dilibatkan," tegasnya.
Lebih lanjut Noor Iza mengingatkan, Telkom adalah pemilik lisensi Jaringan tetap tertutup (Jartup) dimana secara karakteristik izin harus dibuka dan fair.
"Kalau tidak mau network sharing, jaringan Telkom hanya boleh digunakan oleh Telkom sendiri. Sementara izin Telkom adalah jaringan tetap tertutup di mana secara karakteristik izin harus dibuka dan fair," pungkasnya. (rou/rou)