"Tentu itu kan ranah KPK atau BPK yang memang concern soal potensi kerugian negara, dalam hal ini BUMN. Kami bisa memahami karena kami juga melihat hal yang sama," kata Hanafi Rais, anggota Komisi I DPR RI saat berbincang dengan detikINET di Jakarta, Jumat (2/9/2016).
Hanafi mengaku setuju dengan analisa dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bahwa penurunan interkoneksi bisa sangat membahayakan penerimaan negara dari sektor telekomunikasi, setidaknya dalam lima tahun ke depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau di komisi I sebagai bagian dari parlemen yang membidangi telekomunikasi, tentu selain soal hukum juga concern dengan optimalisasi pelayanan publik industri telekomunikasi kepada masyarakat secara umum," kata Hanafi yang sempat ikut memimpin rapat terkait interkoneksi dengan Menkominfo di Komisi I.
Seperti diberitakan sebelumnya, kebijakan interkoneksi ini telah dilaporkan ke KPK oleh Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). Dalam aduannya ke KPK mereka mengklaim adanya potensi kerugian negara yang sangat besar dalam pemberlakuan kebijakan itu.
![]() |
"Kita lapor ke KPK karena ada potensi kerugian negara Rp 51 triliun selama lima tahun kalau tarif interkoneksi ini diturunkan," kata Manager Advokasi dan Investigasi Fitra, Apung Widadi di Gedung KPK, Jakarta.
Apung menjelaskan, surat edaran itu dibuat tidak transparan dan merugikan negara dalam hal ini BUMN. Sebab seharusnya, kata dia, Menkominfo Rudiantara seharusnya melindungi negara dengan kebijakannya dan bukan memperkaya orang lain atau korporasi lain di luar negara.
"Surat edaran itu cacat hukum karena dari sisi hukum bermasalah, bertentangan dengan peraturan di atasnya yaitu PP 52 tahun 2000 khususnya pasal 22-23 mengenai penetapan tarif interkoneksi," paparnya.
Seperti diketahui, kebijakan penurunan biaya interkoneksi rata-rata 26% untuk 18 skenario panggilan telepon ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani oleh Plt. Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI), Geryantika Kurnia, dan dirilis pada 2 Agustus 2016.
Apung mempertanyakan, kenapa surat ini hanya ditandatangani oleh seorang Pelaksana Tugas (Plt) bukan langsung oleh Menkominfo Rudiantara. Ia pun sampai berani menuding Menkominfo ikut bermain di belakang keluarnya surat edaran ini.
"Kenapa yang tanda tangan setingkat Dirjen. Seharusnya kalau enggak ada masalah kenapa dia (Menkominfo) nggak berani tanda tangan. Kalau clear, seharusnya dia (Menteri) berani dong tanda tangan. Ini semakin mendekonstruksi, mendelegitimasi masalah dalam surat edaran itu," kata dia.
Apung juga menduga, ada desain besar untuk menguntungkan korporasi terkait penurunan tarif ini. Sebab surat edaran ini menurut Apung dijadikan pembenaran oleh operator non-BUMN.
"Yang kita kasih ke KPK tadi adalah surat-surat operator lain ke Kominfo. Ternyata mereka sudah berinteraksi sejak lama. Sedangkan Telkomsel nggak diundang. Itu jadi catatan. Harapan kita KPK mampu mencegah, membatalkan surat edaran itu dan memproteksi BUMN dari korupsi," tegasnya.
Hanafi sendiri menilai, kekhawatiran yang disampaikan oleh Fitra akan adanya potensi dampak kerugian yang besar bagi BUMN telekomunikasi, tak ada yang salah jika tujuannya demi membela kepentingan negara.
"Itu sebabnya, kebijakan penurunan tarif interkoneksi yang dirancang Kominfo menimbulkan moral hazard industri untuk mengingkari kewajiban menyediakan infrastruktur demi full coverage sesuai perintah UU Telekomunikasi," kata putra dari Amien Rais ini.
Ia pun menyarankan, SE dari Kominfo yang cuma ditandatangani oleh Plt Dirjen PPI tersebut, sebaiknya dicabut dulu secara resmi oleh Menkominfo agar tidak menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
"Sampai sekarang, SE tersebut dibiarkan saja tidak dicabut secara resmi oleh Kominfo sehingga mengakibatkan industri telekomunikasi tidak bisa melayani pelanggannya secara optimal," sesal Hanafi.
Meskipun SE itu belum dicabut oleh Menkominfo, namun Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza, telah menyatakan bahwa SE yang dirilis sebelumnya, belum bisa diterapkan per 1 September 2016 karena Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI) belum lengkap terkumpul.
Dengan demikian, seluruh operator bisa tetap menggunakan acuan biaya interkoneksi lama, yakni Rp 250 dan bukannya Rp 204 untuk panggilan seluler lintas operator atau off-net.
Dalam kesempatan terpisah, President Director & CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli, President Director & CEO XL Axiata Dian Siswarini, dan Wakil Presiden Direktur Hutchison 3 Indonesia Muhammad Danny Buldansyah, mengatakan akan tetap menerapkan biaya interkoneksi baru sesuai SE atau Rp 204.
Sementara President Direktur Smartfren Telecom Merza Fachys, yang juga Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), mengatakan biaya interkoneksi diberlakukan secara business to business (B2B) atau atas kesepakatan masing-masing operator.
Sedangkan Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah menegaskan, akan menggunakan biaya interkoneksi yang disepakati dalam perjanjian dengan operator lain yang berlaku saat ini sesuai pasal 18 PM 8 tahun 2006, hingga pemerintah mengumumkan hasil perhitungan biaya interkoneksi masing-masing operator sebagai dasar acuan kesepakatan industri dalam membuat penawaran interkoneksi pada DPI masing-masing. (rou/fyk)