Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza menjelaskan, alasan ditundanya kebijakan baru interkoneksi dikarenakan belum semua operator mengirimkan Daftar Penawaran Interkoneksi (DPI). Dengan demikian, maka operator dipersilakan menggunakan acuan biaya interkoneksi versi lama.
Singkatnya, penurunan biaya interkoneksi yang diimbau melalui Surat Edaran (SE) Nomor 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani oleh Plt. Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika, Geryantika Kurnia, pada 2 Agustus 2016 lalu belum diberlakukan per 1 September 2016 ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebijakan tentang biaya interkoneksi terbaru yang digodok dalam seri 17 kali rapat dan memakan waktu setahun sulit direalisasikan karena adanya penolakan dari Telkom Group serta belum digelarnya Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Menkominfo Rudiantara dengan Komisi I DPR RI.
Dengan belum lengkapnya DPI, makin lengkaplah alasan untuk mengundurkan jadwal implementasi tersebut per 1 September 2016. Sementara XL Axiata dan Indosat Ooredoo dalam pernyataan sebelumnya, menegaskan akan tetap menerapkan biaya interkoneksi baru karena merasa belum ada surat resmi pengunduran.
Dilaporkan ke KPK
Polemik tentang interkoneksi dalam beberapa pekan terahir ini pun sampai ikut mengusik perhatian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bahkan, kasus ini juga ramai diberitakan telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) yang melaporkan kasus ini ke KPK mengklam melihat adanya potensi kerugian negara yang sangat besar dalam pemberlakuan kebijakan tersebut.
"Kita lapor ke KPK karena ada potensi kerugian negara Rp51 triliun selama 5 tahun, kalau tarif interkoneksi ini diturunkan," kata Manager Advokasi dan Investigasi Fitra, Apung Widadi di Gedung KPK, Jakarta.
Apung menjelaskan, surat edaran itu dibuat tidak transparan dan merugikan negara dalam hal ini BUMN. Sebab seharusnya Menkominfo melindungi negara dengan kebijakannya dan bukan memperkaya orang lain atau korporasi lain di luar negara.
"Surat Edaran itu cacat hukum karena dari sisi hukum bermasalah, bertentangan dengan peraturan di atasnya yaitu PP 52 tahun 2000 khususnya pasal 22-23 mengenai penetapan tarif interkoneksi," paparnya.
Selain itu, Apung mempertanyakan, kenapa surat ini hanya ditandatangani oleh seorang Pelaksana Tugas (Plt) bukan langsung oleh Menkominfo Rudiantara. Ia pun menuding Menkominfo ikut bermain di belakang keluarnya surat edaran ini.
"Kenapa yang tanda tangan setingkat Dirjen. Seharusnya kalau enggak ada masalah kenapa dia (Menkominfo) nggak berani tanda tangan. Kalau clear, seharusnya dia (Menteri) berani dong tanda tangan. Ini semakin mendekonstruksi, mendelegitimasi masalah dalam surat edaran itu," kata dia.
Apung juga menduga, ada desain besar untuk menguntungkan korporasi terkait penurunan tarif ini. Sebab surat edaran ini menurut Apung dijadikan pembenaran oleh operator non-BUMN.
"Yang kita kasih ke KPK tadi adalah surat-surat operator lain ke Kominfo. Ternyata mereka sudah berinteraksi sejak lama. Sedangkan Telkomsel enggak diundang. Itu jadi catatan. Harapan kita KPK mampu mencegah, membatalkan surat edaran itu dan memproteksi BUMN dari korupsi," tegasnya. (rou/ash)











































