Dalam Bisnis Pilihannya Cuma Satu: Kill or To Be Killed
Hide Ads

Ribut-ribut Interkoneksi

Dalam Bisnis Pilihannya Cuma Satu: Kill or To Be Killed

Achmad Rouzni Noor II - detikInet
Rabu, 31 Agu 2016 18:03 WIB
Foto: detikINET/Achmad Rouzni Noor II
Jakarta - Polemik tentang pro-kontra terhadap rencana kebijakan baru interkoneksi muaranya cuma satu: bisnis. Ujung-ujungnya soal duit. Maka tak heran kalau di dalam kompetisi ini ada istilah: kill or to be killed -- mati terbunuh atau terpaksa membunuh untuk bertahan hidup.

Pandangan itu disampaikan oleh Achsanul Qosasi, salah satu pimpinan di lembaga negara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI). Meskipun yang jadi fokus perhatiannya hanya masalah yang terkait penerimaan negara, namun ia juga ikut terpancing untuk menganalisa persaingan bisnis di industri telekomunikasi.

Bukan tanpa sebab, karena menurutnya, penerimaan negara dari sektor telekomunikasi sangatlah besar. Setiap bulannya sekitar Rp 7 triliun dari BUMN telekomunikasi seperti Telkom Group. Memang, pemerintah juga punya saham di Indosat Ooredoo, tapi jumlahnya sudah minoritas.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alhasil, mau tak mau, ia pun ikut terusik ketika ada polemik tentang interkoneksi ini. Karena memang sudah menjadi tugas BPK untuk menganalisa, memeriksa, dan mengingatkan agar tak terjadi kerugian terhadap aset negara, apalagi dari sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah itu sendiri.

"Saya setiap tahun memeriksa laporan keuangan Telkom dan Telkomsel. Mereka memang rugi saat membangun infrastruktur. Tapi, walaupun hitungannya rugi, tapi ini bicara untuk investasi 5-10 tahun ke depan," kata Achsanul saat ditemui di ruang kerjanya di gedung BPK, Jakarta, Selasa (30/8/2016).

Sebagai pelaksana tugas negara, Achsanul banyak bercerita. Termasuk soal kebanggaannya melihat saham Telkom berjaya di New York Stock Exchange (NYSE). Itu artinya, kata dia, BUMN telekomunikasi ini masih sehat dan masih memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan kas negara.

"Telkom Group memiliki market capitalization terbesar kedua setelah BRI, mencapai Rp 4.000 triliun. Karena Telkom merupakan salah satu blue chip yang dimiliki bangsa ini selain Pertamina, BRI, dan PLN, maka sudah menjadi tanggung jawab kami di BPK untuk menjaganya, terutama dari isu-isu negatif yang berpotensi merugikan negara," kata Achsanul lebih lanjut.

Saat memeriksa laporan keuangan Telkomsel dan Telkom Group setiap tahunnya, menurutnya dari situ bisa terlihat bahwa, jika mereka saat ini bisa menguasai pangsa pasar telekomunikasi terbesar di Indonesia, itu bukannya tanpa usaha dan pengorbanan besar dalam berinvestasi.

"Investasi yang dilakukan benar-benar untuk menjalankan kepentingan negara dan rakyat, sesuai Nawa Cita. Buktinya, masyarakat di desa sudah bisa menikmati internet gara-gara Telkomsel," paparnya.

Ia pun mempersilakan kepada operator telekomunikasi lainnya seperti Indosat Ooredoo, XL Axiata, Hutchison 3 Indonesia, dan Smartfren Telecom, untuk ikut membangun di daerah pedesaan dan pinggiran di luar Pulau Jawa, agar seluruh masyarakat bisa ikut terlayani.

"Ini kan masalah supply and demand terhadap services. Kalau punya services terbaik, demand pasti terbanyak. Siapa yang bisa memberikan supply yang terkuat, dialah yang menang. Hukum bisnis seperti itu. Karena Telkomsel sudah membangun seluruh jaringan duluan, wajar kalau menikmati keuntungan," kata Achsanul.

"Jadi kalau XL, Indosat, dan yang lainnya mau untung juga, ya ikutan investasi saja. Toh, nggak ada yang melarang bangun jaringan ke daerah. Tapi yang sudah invest duluan, jangan disalahkan kalau dia lebih unggul.

"Jangan yang sudah untung karena hasil jerih payahnya, masih diminta bagiannya tanpa mau bangun. Tidak begitu caranya. Negara tidak memfasilitasi persaingan bisnis, hanya memfasilitasi kekurangan terhadap pelayanan warga yang membutuhkan. kalau melayani rakyat kurang, ya baru dikasih bantuan," lebih lanjut ia menegaskan.

Achsanul pun menjelaskan, memfasilitasi kekurangan terhadap pelayanan warga yang membutuhkan, khususnya di daerah terpencil yang saat ini hanya dilayani mayoritas oleh Telkom dan Telkomsel, operator telekomunikasi lainnya milik swasta juga boleh ikut berkontribusi melalui program Universal Service Obligation (USO).

"Kamu (operator) layanin saja, nanti berapa kekurangannya baru kamu tagih. Tapi kamu baru bisa tagih setelah BPK periksa. Makanya setiap USO, sebelum saya periksa, negara belum berani bayar. Subsidi USO baru bisa dibayar setelah ada tandatangan BPK. Saya teken, baru diganti sama pemerintah. Negara juga nggak main asal ganti sesuai klaim industri, musti diperiksa dulu. Kalau nggak masuk ya nggak saya approve. Tapi kalau oke, baru negara bayar," paparnya.

Beban BUMN

BPK pun ikut mengomentari pernyataan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara kala rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI pekan lalu. Waktu itu, menteri yang akrab disapa Chief RA itu mengatakan, "Saya tidak pernah mewajibkan Telkom untuk membangun di daerah remote."

Hal itu dinilai aneh menurut pemahaman BPK. Karena biar bagaimanapun, Telkom Group sebagai BUMN telekomunikasi, punya kewajiban untuk melayani rakyat Indonesia di manapun ia berada. Tak cuma di kota-kota besar saja, tapi juga di daerah terpencil -- meskipun harus merugi.

"Sayang sekali ada pernyataan seperti itu dari Pak Menteri. Pertamina juga tidak diperintahkan untuk jual bensin sampai ke Papua, tapi sebagai BUMN mereka wajib, meskipun harus dibawa pakai Fokker atau helikopter. Memang rugi, tapi di situ ada hak rakyat Indonesia yang sama dengan yang di kota," kata Achsanul.

"Kalau kami memeriksa Pertamina dan menyalahkan mereka kalau mengangkut minyak ke pulau terpencil di Papua, itu tidak boleh. Wajib Pertamina jalankan itu, begitu pula Telkomsel. Tidak boleh kita berbicara tidak ada yang nyuruh. Sebagai agen pembangunan, Telkomsel harus menjalankan misi itu.

"Hampir semua BUMN seperti Bulog, PT Pos, PGN juga sama. Saya menyayangkan kalau pejabat negara mengatakan seperti itu. Itu kan sama saja dengan saya tidak menyuruh anak buah saya untuk memeriksa infrastruktur di luar. Kalau untuk rakyat, di satu sisi kita tidak bisa bilang untung-rugi.

"BUMN itu sebagai agen pembangunan dan agen bisnis. Di satu sisi bicara profit and loss, di sisi lain bicara community development. Makanya beda dengan swasta. Sehingga wajar BUMN kita dapat privilege dari pemerintah, karena misi-misi itu harus mereka jalankan".

"Mudah-mudahan, kerugian dari interkoneksi ini tidak terjadi, karena ini masih prediksi. Apa yang terjadi tahun 2017 bisa kita prediksi, tapi faktanya kita lihat akhir tahun 2017," tutur Achsanul menceritakan pandangannya.

Ia pun menegaskan, sebagai pemeriksa keuangan negara, BPK juga sebenarnya bisa-bisa saja untuk meminta laporan keuangan dari operator lain yang notabene miliik swasta. Apalagi kalau memang benar, ada perpindahaan uang besar yang biasanya masuk ke kas negara, malah berpindah ke swasta maupun asing.

"Kalau ada stakeholder yang meminta, kami berhak periksa Indosat, karena ada saham merah putih juga di situ. Dan kalau ada permintaan dari masyarakat (untuk operator lain) juga bisa saja, kan bisa kami periksa pajaknya, devidennya. Tapi kita juga tidak bisa jumawa sebagai aparatur negara," jelasnya.

Lapor ke Presiden

Sembari menunggu kebijakan baru interkoneksi ini dilaksanakan, BPK mengaku akan terus mengawasi. Meskipun diakui Achsanul pihaknya tidak akan mengintervensi, namun setiap gerak-gerik pelaksana negara yang mencurigakan, apalagi sampai merugikan penerimaan negara, wajib untuk diberi peringatan dan diluruskan.

"Tinggal kita lihat saja tahun depan, apa ada penurunan di pendapatan interkoneksi dan turunnya berapa persen, dan apakah ada pihak yang diuntungkan. Berapa besar penurunan di masyarakat dan kenaikan di pihak swasta berapa besar. Jangan sampai ada pihak lain yang tidak ada kaitannya dengan keuangan negara memanfaatkan policy negara ini untuk mengecilkan badan usaha milik negara," tegas Achsanul.

"Jadi, cobalah dipikirkan, saya tidak dapat mengatakan ini benar atau salah. Yang bisa mengatakan ini benar atau salah, bermanfaat atau tidak, adalah ketika saya melakukan pemeriksaan tahun depan. Kami periksa setelah semester kedua tahun 2017. Saya akan sampaikan ke presiden dan ke parlemen. Biar nanti parlemen yang lakukan pengawasan, jalurnya seperti itu," lanjutnya.

"Saya tidak mau ngomong prematur. Saya hanya buktikan nanti, karena BPK itu selalu after the fact. Saya hanya menyampaikan, bahwa ini risiko-risikonya. Tapi faktanya adalah tahun depan. Kalau misalnya penerimaan Telkomsel turun gara-gara keputusan menteri, maka hal tersebut akan jadi catatan khusus oleh BPK.

"Dan kalau ternyata penerimaan negara dari interkoneksi itu turun kemudian ada pihak lain yang naik, kemudian penurunan yang signifikan diterima Telkomsel tersebut tidak sebanding dengan tarif yang dinikmati masyarakat, ini akan menjadi keputusan aparat penegak hukum," masih kata Achsanul.

Kill or To Be Killed

Di tengah polemik soal interkoneksi ini, BPK sebenarnya tak mau ikut campur atau mengintervensi. Takutnya, malah akan memperkeruh suasana, apalagi kata Achsanul ini cuma soal urusan bisnis operator saja. Namun karena ada potensi negara dirugikan, mau tak mau BPK turun tangan.

"Ada potensi penerimaan negara yang hilang gara-gara Kepmen. Tapi ini baru prediksi, nanti faktanya kita lihat tahun depan. Kalau ternyata interkoneksi turun tapi jumlah pengguna Telkomsel naik, ini masih bisa diterima. Jangan sampai Telkomsel dan Telkom hancur, tapi ada orang lain yang menikmati kehancuran ini," katanya lagi.

"Kami tahu struktur penerimaan Telkomsel. Tahun depan pun kalau kami periksa lagi tinggal kami compile. Telkomsel ada sebagai agen pembangunan, membangun fasilitas tower di daerah-daerah yang masih rugi sampai sekarang. Kalau perlu sampai ke daerah terluar".

"Swasta tidak mungkin bangun, tidak peduli, karena tidak marketable, tidak profitable. Telkom dan Telkomsel sebagai agen pembangunan wajib membangun di kawasan terluar dan terdepan demi kepentingan rakyat".

"Waktu kami lihat memang rugi, bagaimana membawa diesel ke daerah itu sampai perlu helikopter untuk bawa besi yang panjang. Tapi di satu sisi Telkomsel tidak bisa bicara untung-rugi kalau untuk kepentingan rakyat, karena bagian dari agen pembangunan. Ada ratusan tower belum profit".

"Itu bisa kita maklumi karena mereka bangun bukan untuk kepentingan bisnis, tapi sebagai agen pembangunan. Pertanyaan lain yang penting: apakah swasta melakukan itu? Kan tidak. Semua mau membangun di Jawa, lalu dalam kota. Itu pun tidak mau Jawa yang pinggiran, maunya dalam kota. Telkomsel tidak boleh. Pinggiran, dalam kota, pulau terdepan, pulau terluar harus dibangun," kata Achsanul panjang lebar".

Namun dari situ ia menyimpulkan, ini adalah risiko yang harus ditanggung oleh Telkomsel selaku anak usaha Telkom yang jadi tulang punggung dan agen pembangunan negara satu-satunya di bidang telekomunikasi. Jadi, kalau ada operator swasta yang mau ikut menikmati keuntungan di luar Jawa, ia pun memberikan saran.

"Namanya bisnis kan kill or to be killed. Kalau tidak rugi ya untung, kalau tidak saya yang besar ya kamu yang besar, kalau tidak saya yang mati ya kamu yang mati. Tapi, kalau itu dijalankan secara fair pelaksanaannya, bersaing secara fair dengan aturan yang ada, ya silakan. Tapi kalau bersaing dengan memaksakan peraturan, itu ada hukumannya. Buktinya nanti, karena kami baru periksa Telkom dan Telkomsel," pungkas Achsanul. (rou/ash)
Berita Terkait