Menurut Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB M. Ridwan Effendi kisruh aturan interkoneksi saat ini tidak terlepas dari kebijakan 17 tahun lalu, di mana lahir Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.
Undang-undang ini dinilai penting saat itu karena mengakhiri era duopoli telekomunikasi. Karena sebelum tahun 1999, Indonesia mempunyai dua operator telekomunikasi, yakni Indosat dan Telkom.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah lahir UU No 36 Tahun 1999 ini dimulailah era liberalisasi di sektor telekomunikasi. Pada saat itu mulai banyak investor yang masuk sehingga memunculkan operator telekomunikasi baru di Tanah Air.
Ridwan menilai era liberalisasi ini membuat sektor telekomunikasi mengalami perkembangan cukup signifikan. Hingga awal tahun 2016 saja, sudah lebih dari 300 juta kartu terjual. Angka tersebut melebihi jumlah penduduk Indonesia saat ini.
Kondisi ini memberi dampak positif bagi Indonesia sendiri. Karena menurut Bank Dunia, setiap penetrasi 10% dari ICT maka akan ada penambahan GDP sebesar 1,38%.
![]() |
"Angka tersebut cukup besar sekali. Dan ini sudah terjadi di Indonesia," ujar Ridwan.
Hanya saja saat tahun 1999, Indonesia berada di situasi sulit. Sehingga daya tawar sangat lemah. Akibatnya investor yang masuk ke Indonesia tidak terseleksi dengan baik.
Imbasnya kita melihat fenomena operator hanya mau membangun jaringan di daerah yang langsung mendatangkan uang. Sementara daerah dengan trafik rendah, mereka enggan membangun.
Berdasarkan data dari tahun 2005 hingga sekarang, Telkomsel menjadi operator yang getol membangun diikuti XL dan Indosat. Sementara Kominfo mencatat Telkomsel telah membangun hampir 50 ribu BTS broadband. Sementara Indosat sebanyak 23 ribu BTS broadband dan XL sebanyak 16 ribu BTS broadband.
Kondisi ini cukup kontras dibanding Eropa atau sejumlah negara Asia. Para operator di sana punya kewajiban yang sama membangun jaringan di seluruh wilayahnya. Alhasil presentasenya jumlah BTS yang dipunyai masing-masing operator sama.
"Di Indonesia, tidak semua operator membangun BTS di seluruh wilayah. Untuk daerah high dan medium profitable, hampir semua operator berminat. Tapi tidak demikian dengan low profitable," papar mantan anggota BRTI ini.
Sayangnya, lanjut Ridwan, saat ini ada wacana revisi Peraturan Pemerintah No 52 dan 53 tahun 2000 yang memungkinkan network sharing. Selain itu ada rencana pengurangan tarif interkoneksi. Semua itu dikhawatirkan akan membuat penetrasi ketersediaan jaringan di wilayah Indonesia tidak akan bertambah.
Ridwan pun menyambut baik keinginan DPR yang meminta Menkominfo Rudiantara untuk menunda keluarnya Peraturan Menteri tetang penetapan biaya interkoneksi per 1 September mendatang.
"Penetapan harga yang telah ditetapkan itu tidak sesuai apa yang sudah digariskan dalam peraturan perundang-undangan. Pemerintah seyogyanya menyediakan formula dan memverifikasi data. Naik atau turun baiknya tergantung banyaknya pembangunan yang dilakukan operator tersebut," pungkasnya.
Di kesempatan yang sama, CFO Telkomsel Herry Supriadi mengatakan, pemerintah baiknya mempertimbangkan kembali keputusan penurunan tarif interkoneksi. Ketika network tidak sama jangkauannya, pihak yang melakukan investasi lebih intensif diberikan insentif dari pemerintah, di mana biaya di-cover semua.
"Pada saat ini tidak dibuat asimetris. Telkomsel mendapat biaya interkoneksi kurang dari cost recovery. Operator lain mendapatkan biaya interkoneksi dari Telkomsel lebih dari cost recovery," jelas Herry. (mag/mag)












































