Ribut-ribut Interkoneksi, Ini Saran Buat Pemerintah
Hide Ads

Ribut-ribut Interkoneksi, Ini Saran Buat Pemerintah

Achmad Rouzni Noor II - detikInet
Rabu, 17 Agu 2016 10:26 WIB
Foto: detikINET/Achmad Rouzni Noor II
Jakarta - Pro dan kontra soal penurunan biaya interkoneksi terus bergulir meskipun pemerintah telah mengeluarkan surat edaran (SE) mengenai implementasi dari sebelumnya yang rata-rata Rp 250 per menit, turun 26% menjadi Rp 204 per menit.

Pemerintah sendiri, dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika, berencana menerapkan kebijakan tarif itu per 1 September 2016 hingga Desember 2018 sesuai dengan bunyi SE No.1153/M.Kominfo/PI.0204/08/2016.

Pola kebijakan yang diterapkan dari kebijakan ini pun simetris. Artinya, operator dominan (incumbent) dan operator non-dominan hingga minoritas, akan dikenakan perhitungan yang sama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Walaupun kebijakan ini dapat dievaluasi oleh Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) setiap tahunnya, aturan ini akhirnya membelah operator menjadi dua kubu yang bertolak belakang.

Menurut pengamatan analis ICT yang biasa berurusan dengan regulasi telekomunikasi di Eropa, Ibrahim Kholilul Rohman, perubahan regulasi interkoneksi di negara manapun akan selalu menghadirkan dua kubu yang bertolak belakang.

"Tidak hanya regulasi interkoneksi, tetapi regulasi yang berhubungan dengan telekomunikasi. Di semua negara pasti akan terjadi pro dan kontra dari munculnya satu regulasi," ujarnya kepada detikINET, Rabu (17/8/2016).



Ia pun coba menjelaskan dari sudut pandang teoritis dan empiris, yakni penurunan tarif interkoneksi memunculkan kondisi zero sum game.

Dalam kasus interkoneksi, kondisi ini bisa dicontohkan dengan pendapatan interkoneksi yang diperoleh turun bersamaan dengan turunnya beban interkoneksi.

Turunnya pendapatan dan beban memunculkan kondisi yang bisa dikatakan seimbang atau nol -- seperti istilah zero sum game yang dikatakan Ibrahim di awal.

Sebagai ilustrasi, Ibrahim pun memaparkan contoh best practice interkoneksi di negara lain. Misalnya, operator seluler Vodacom di Afrika Selatan saat sebelum penurunan interkoneksi pada 2011 dan setelah penurunan pada 2012.



Pada 2011, pendapatan interkoneksi mereka mencapai USD 936 juta, dengan beban interkoneksi mereka USD 787 juta. Dari kedua komponen, operator itu mendapatkan net interconnect profit mencapai USD 149 juta.

Sementara itu pada 2012, yakni setahun setelah penerapan interkoneksi, pendapatan interkoneksinya mencapai USD 840 juta. Dari sisi beban interkoneksi USD 682 juta.



"Bagaimana dengan net interconnect profit? Operator itu malah menikmati kenaikan menjadi USD 158 juta. Itu artinya, mereka malah untung," kata Ibrahim.

Berangkat dari kasus itu, ia pun menjelaskan, dalam jangka panjang penurunan biaya interkoneksi bisa memberi dampak positif, yakni menstimulasi investasi.

"Maka, operator besar harus lebih concern sama on-net (trafik di jaringan operator yang sama) dan tidak perlu lagi khawatir sama off-net (trafik lintas operator). Kalau digarap dengan benar, tarif on-net maka tetap bisa untung," jelasnya.



Di samping itu, pakar yang berdomisili di Spanyol itu mengungkapkan, para operator telekomunikasi pun tidak perlu takut dengan turunnya tarif interkoneksi, karena Indonesia memiliki pasar yang sensitif terhadap harga.

Ibrahim juga memberikan saran kepada pemerintah sebagai regulator, untuk menengahi kedua kubu yang bertolak belakang tersebut. "Pemerintah dalam kasus ini harus bisa memitigasi reaksi operator seluler dengan memberikan pengertian," ujarnya.

Misalnya, seperti penurunan tarif interkoneksi 1% akan berpengaruh terhadap kenaikan net usage atau penggunaan telepon yang meningkat sebesar 40%

"Di samping itu, tarif interkoneksi merupakan natural monopoly sehingga memang harus diatur oleh pemerintah," tegas Ibrahim lebih lanjut.



Terlepas dari itu semua, kebijakan pemerintah terkait dengan biaya interkoneksi harus tetap mengakomodasi seluruh stakeholder industri itu.

Termasuk komitmen investor (operator) dalam konteks pembangunan jaringan (modern licensing) ketika mengajukan izin investasi. "Saya setuju, merah putih harus tetap ditegakkan," kata Ibrahim.

Bila semua itu terpenuhi, maka pemerintah dan masyarakat juga yang akan menikmati kondisi level of playing field yang sama, terpenuhinya pemerataan pembangunan jaringan -- yang pada akhirnya membuat masyarakat menikmati layanan telekomunikasi yang lebih baik dan terjangkau. (rou/rns)
Berita Terkait