Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Soal Interkoneksi, Smartfren: 10% Kekecilan, Cocoknya Turun 40%

Soal Interkoneksi, Smartfren: 10% Kekecilan, Cocoknya Turun 40%


Achmad Rouzni Noor II - detikInet

Foto: detikINET/Achmad Rouzni Noor II
Jakarta - Rencana pemerintah untuk menurunkan tarif interkoneksi di atas 10% mendapat sambutan positif dari Smartfren Telecom. Bahkan operator seluler dari grup Sinar Mas itu mendesak agar turunnya lebih drastis lagi hingga 40%.

"Kami inginnya turun sampai 40%, mudah-mudahan. Agar biayanya jadi lebih murah," ucap Division Head Device Planning and Management Smartfren Sukaca Purwokardjono saat ditemui di JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (3/5/2016).

Rencana untuk menurunkan tarif interkoneksi lintas operator (off-net) telah berulangkali disampaikan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Ia berharap bisa menurunkan tarif interkoneksi operator minimal 10%.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun sayangnya, rencana ini belum juga terwujud. Bahkan molor lima bulan dari rencana awalnya, akhir 2015 lalu. Kabarnya, masih ada yang belum setuju dengan hitung-hitungan ini.

Seperti diketahui, biaya interkoneksi merupakan salah satu komponen dari tarif ritel, selain biaya produksi, promosi, dan margin keuntungan.

Saat ini tarif interkoneksi yang diberlakukan untuk percakapan (voice call) hanya di bawah 20% dari tarif retail lintas operator yang dibayarkan oleh pelanggan, atau dari biaya interkoneksi Rp 250 terhadap tarif retail lintas operator yang bervariasi rata-rata Rp 1.500.

"Bagi kami, 10% itu kekecilan, harus melihat dari trafik operator. Terlebih sekarang penggunaan panggilan voice sudah mulai sedikit jadi turunnya tarif interkoneksi bisa mempenetrasi kembali," sambung Sukaca.

Meski demikian, Sukaca mengaku jika betul-betul turun 40%, bukan berarti Smartfren langsung menurunkan 40% juga karena perusahaan harus meninjau kembali titik kota yang terkena interkoneksi.

"Masih ada beberapa kota yang terkena biaya long-distance. Jadi penurunan tarif tidak berbanding lurus. Kita tunggu saja keputusan pemerintah resminya bagaimana," tutupnya.

Selama ini, tarif interkoneksi masih menggunakan metode simetric alias dibebankan secara sama ke semua operator, baik dari sisi jumlah pelanggan, infrastruktur dan sebagainya.

Hal ini menimbulkan perdebatan, karena tak semua operator membangun. Misalnya, jumlah infrastruktur base station (BTS) yang sama di satu wilayah.

Sementara menurut Ian Yosef, Ketua Program Studi Telekomunikasi ITB, formula perhitungan biaya interkoneksi yang ditetapkan oleh pemerintah dan operator hanya memasukan data yang diperlukan sesuai dengan kondisi jaringan masing-masing operator.

"Selanjutnya hasil perhitungan akan disetujui oleh BRTI. Hal ini untuk mencegah operator memberlakukan tarif interkoneksi yang tinggi yang tidak sesuai dengan biaya investasi jaringannya," ujarnya saat berbincang dengan detikINET beberapa waktu lalu.

Selama ini biaya jaringan ditentukan oleh biaya investasi penggelaran jaringan operator tujuan. Biaya investasi ini dipengaruhi oleh coverage, trafik yang disalurkan dan utilisasi jaringan.

Untuk itulah, dia menyimpulkan bahwa tarif interkoneksi seharusnya tak disamaratakan. Sebab, pemberlakuan satu tarif interkoneksi untuk semua operator justru dapat mengakibatkan keuntungan di satu operator dan kerugian di operator lain. (rou/ash)





Hide Ads