Tuntasnya refarming 4G di 1.800 MHz menjadi momentum bagi Hutchison 3 Indonesia untuk bangkit. Pasalnya, dalam setahun terakhir ini, operator yang 65% sahamnya dimiliki Hutchison Whampoa dan sisanya Northstar Pacific itu, cuma bisa duduk manis jadi penonton saja.
Dibandingkan dengan para operator seluler GSM yang menjadi pesaingnya, cuma mereka yang tak punya spektrum di 900 MHz. Operator dengan sebutan Tri ini cuma punya lisensi untuk mengoperasikan 2G di 1.800 MHz dan 3G di 2,1 GHz. Dibukanya akses 4G di 1.800 MHz jelas jadi momentum untuk unjuk gigi.
Pembukaan akses ini harusnya jadi kesempatan emas mereka untuk bangkit. Apalagi menurut Muhammad Danny Buldansyah, Wakil Direktur Utama Tri, pelanggan seluler mereka merupakan pengguna yang sangat aktif menggunakan layanan data.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Untuk 4G di 1.800 MHz kita cuma pakai 5 MHz saja. Sisanya 5 MHz lagi masih untuk 2G. Tapi untuk tahap awal, itu juga masih cukup, kok," ujarnya, coba menghibur diri saat berbincang dengan detikINET di Kartika Chandra, Jakarta.
Di antara para operator penyedia layanan seluler 4G, posisi Tri memang paling tidak menguntungkan. Secara total, mereka hanya menempati lebar spektrum 20 MHz dimana kini masing-masing 5 MHz untuk 2G dan 4G di 1.800 MHz, dan 10 MHz untuk 3G di 2,1 GHz.
Dibandingkan operator lain seperti Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata, spektrum yang dimiliki Tri jelas kalah telak. Bahkan dengan spektrum milik Smartfren Telecom saja mereka masih kalah lebar.
Smartfren saja saat ini menempati 10 MHz di 800 MHz -- bekas peninggalan Bakrie Telecom dan Mobile-8 Telecom, kemudian 30 MHz di 2,3 GHz sebagai kompensasi untuk pindah dari 1.900 MHz yang rawan interferensi dengan 2,1 GHz. Total mereka punya 40 MHz.
Sementara Telkomsel jadi yang terbesar karena punya 15 MHz di 900 MHz -- jika digabung dengan spektrum bekas Flexi di 800 MHz, kemudian 22,5 MHz di 1.800 MHz, lalu 15 MHz di 2,1 GHz. Total mereka punya 52,5 MHz. Anak usaha Telkom dan SingTel ini juga masih mengincar tambahan frekuensi di 2,1 GHz dan 2,3 GHz saat lelang dibuka nanti.
Sedangkan Indosat saat ini punya 10 MHz di 900 MHz -- jadi 15 MHz dengan bekas spektrum StarOne di 800 MHz, kemudian 20 MHz di 1.800 MHz, lalu 10 MHz di 2,1 GHz. Total, spektrum yang dikuasai oleh operator di bawah induk Ooredoo Group ini punya 45 MHz.
Di luar seluler, Indosat dan Telkomsel (melalui bendera Telkom Group), juga masih punya spektrum broadband wireless access (BWA) yang cukup lebar. Namun cakupannya hanya sebatas area tertentu.
Kemudian, XL Axiata punya 10 MHz di 900 MHz, 22,5 MHz di 1.800 MHz -- setelah mencaplok Axis Telekomunikasi Indonesia pada 2014 lalu, dan 15 MHz di spektrum frekuensi 2,1 GHz. Total keseluruhan, XL punya lebar spektrum 47,5 MHz.
Sama seperti operator lainnya, XL juga serius mengincar tambahan spektrum di 2,1 GHz karena posisinya paling menguntungkan -- kanal XL di blok 8, 9, dan 10, berdampingan dengan blok 11 dan 12 bekas peninggalan Axis yang dikembalikan ke pemerintah sebagai syarat merger akuisisi dengan XL.
Dengan peta persaingan yang kurang menguntungkan bagi Tri untuk berperang di medan 4G, timbul secercah harapan untuk mendapatkan tambahan amunisi frekuensi. Harapan itu muncul saat Menkominfo Rudiantara memutuskan untuk membuka lelang dua blok kanal 3G di 2,1 GHz.
Namun di sini, Tri kembali harus menghadapi persaingan ketat. Pasalnya seperti telah disebutkan di atas, operator ini harus bersaing dengan tiga kompetitornya untuk memenangkan tambahan satu atau dua blok kanal frekuensi yang tentunya tidak murah itu.
Mampukah, Tri?
(rou/ash)