Roberto Saputra, Direktur Smartfren mengatakan, pihaknya saat ini masih fokus pada kota-kota yang return. Dalam artian kota-kota yang bisa memberikan kontribusi cukup tinggi perihal pemasukan bagi Smartfren, seperti wilayah Jawa dan Sumatera.
Sementara mengenai implementasi OpenBTS, kata Roberto, masih menunggu waktu yang tepat. Selain itu juga harus dihitung nilai ekonomisnya, terutama untuk wilayah yang akan disambangi untuk dipasangi OpenBTS. Maksudnya adalah potensi pengguna dan lain-lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Untuk ke depannya Smartfren sendiri tengah fokus soal peningkatan kapasitas. Namun fokusnya sementara ini hanya di kota-kota besar saja. Peningkatan kapasitasnya juga akan dilakukan di jaringan TDD-LTE saja di kanal frekuensi 2.300 Mhz.
Hal ini juga dilakukan demi mencapai target pengguna 4G yang diharapkan mencapai 1,5 juta pelanggan sampai akhir tahun 2015, baik yang berasal dari aktivasi baru atau pelanggan Smartfren yang migrasi ke layanan 4G.
Menkominfo Rudiantara sebelumnya menegaskan tak mau menganaktirikan OpenBTS dibandingkan Project Loon milik Google yang akan diuji coba teknis mulai 2016 bersama tiga operator seluler, yakni Telkomsel, Indosat, dan XL Axiata.
"Saya sih oke-oke saja, nggak ada masalah. Semua akan saya akomodasi. Prinsipnya mau OpenBTS, mau balon Google, apa saja yang penting percepatan akses," kata menteri yang akrab disapa Chief RA ini saat berbincang dengan detikINET.
Ia pun mengaku akan membuka pintu lebar-lebar jika para pegiat OpenBTS seperti Onno W. Purbo maupun ICT Watch, mau mengajukan permohonan uji coba teknis seperti yang dilakukan Google bersama ketiga operator tersebut di frekuensi 900 MHz.
Tapi kata menteri, OpenBTS ini tergantung operator. Pasalnya, ada beberapa kondisi yang harus dipenuhi jika solusi OpenBTS mau digunakan. Misalnya, model interkoneksi yang diterapkan.
"Karena, OpenBTS itu cuma menangkap dan menyalurkan sinyal saja. Sedangkan sinyal aslinya milik operator, tetap saja pakai jaringan operator. Nah, ini interkoneksinya bagaimana, kualitasnya siapa yang jamin," lanjut dia.
Rudiantara pun menekankan solusi OpenBTS itu juga mesti memperhatikan kualitas layanan mereka (QoS), baik suara, teks, maupun data. Selain itu juga tentang model revenue sharing antara operator dengan OpenBTS.
"Karena operator telekomunikasi kan ada standar kualitasnya. Mungkin nanti solusinya OpenBTS boleh, tapi harus ada dulu yang menjamin kualitasnya. Jadi, kalau cuma tes saja sih nggak masalah. Dengan Google pun baru technical test, belum ada model bisnisnya dan belum tahu bayarnya berapa," papar Chief RA.
(yud/ash)