Kategori Berita
Daerah
Layanan
Detik Network
detikInet
Indonesia Perlu Segera Revisi UU Telekomunikasi

Indonesia Perlu Segera Revisi UU Telekomunikasi


- detikInet

ilustrasi (ist)
Jakarta -

Revisi Undang-undang Telekomunikasi No 36/99 tidak masuk dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) tahun 2015. Hal ini disayangkan banyak pihak meski DPR berjanji akan menggebernya mulai tahun ini.

β€œBelum masuk dalam Prolegnas prioritas tahun ini, tapi sudah mulai kita bahas tahun ini,” ungkap Ketua Komisi Informasi DPR Tantowi Yahya kepada detikINET di Jakarta, Kamis (12/2/2015).

Diungkapkannya, pada tahun ini tiga revisi RUU yang dilakukan adalah Undang-Undang No.11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), RUU Tentang Penyiaran, dan RUU Tentang Radio Televisi (DPR).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

β€œRUU Penyiaran dan RTRI tinggal meneruskan draft Komisi I DPR periode lalu. Amandemen UU ITE bersifat terbatas, hanya pasal bermasalah yang akan direvisi,” katanya.

Seperti diketahui, DPR dalam Sidang Paripurna hanya akan membahas 37 RUU untuk menetapkan Prolegnas 2015-2019. Sebanyak 159 RUU yang merupakan usulan dari DPR, DPD, pemerintah, dan masyarakat akan dibahas oleh DPR selama lima tahun ke depan.

Sebelumnya, Menkominfo Rudiantara mengusulkan pembahasan UU Perlindungan Data Pribadi yang bertujuan melindungi pengguna jasa telekomunikasi dari penyalahgunaan data dari pihak tak bertanggungjawab.

β€œMasalah perlindungan data pribadi hal yang prioritas dan menjadi usulan dari pemerintah dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Selain itu kami juga mengajukan revisi RUU Revisi untuk UU No 36/99 tentang Telekomunikasi," ujarnya.

"Kami dan Komisi I DPR juga sepakat untuk melakukan revisi dari UU Nomor 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), khususnya Pasal 27 dari beleid itu,” kata Chief RA usai rapat kerja dengan Komisi I DPR belum lama ini.

Mendesak

Di lain kesempatan, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) mendesak untuk secepatnya melakukan revisi terhadap UU No 36/99 tentang Telekomunikasi agar ada kepastian hukum bagi model bisnis yang dikembangkan pelaku usaha.

β€œRevisi UU Telekomunikasi sudah mendesak. Cukup Pak Indar (Atmanto, Mantan Dirut Indosat M2) yang menjadi korban. Harus ada kepastian hukum bagi pelaku usaha sektor telekomunikasi,” tegas Anggota Komite BRTI Nonot Harsono.

Menurutnya, UU Telekomunikasi yang ada sekarang masih rancu dan dapat disalahartikan. β€œHarus diperjelas dan dipertegas pemisahan antara jaringan telekomunikasi, jasa telekomunikasi, dan jaringan telekomunikasi khusus,” tuturnya.

Dicontohkannya, kasus yang menimpa Indar Atmanto dimana IM2 dituding menyalahgunakan frekuensi 3G. Padahal, sebagai penyedia jasa akses internet (PJI) sudah sewajarnya bermitra dengan Indosat selaku penyedia jaringan seluler.

Ditambahkannya, IM2 dan Indar tak sendirian melakukan praktek bisnis seperti itu. Selain IM2 yang diwakili Indar, penandatanganan perjanjian kerja sama tentang Akses Internet Broadband melalui jaringan 3G/HSDPA Indosat dilakukan juga oleh 300 penyelenggara jasa Internet lainnya. Adapun Indosat sendiri diwajibkan untuk membantu, sesuai dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 52.

Ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) Semuel Pangarepan juga berharap UU Telekomunikasi direvisi agar posisi pelaku usaha menjadi jelas dan tidak tumpang-tindih. β€œKami sangat prihatin dengan kasus ini. Kami harap Indar dapat dibebaskan dari tuduhan korupsi yang tak dilakukannya,” katanya.

Seperti diketahui, Indar saat ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung setelah dinyatakan melakukan korupsi dalam penggunaan jaringan 2,1 GHz/3G PT Indosat selama 2006-2012. Revisi UU Telekomunikasi No 36/99 sendiri tidak masuk dalam Prolegnas 2015.

Selain regulator dan asosiasi industri, IndoTelko Forum juga menyayangkan tak masuknya revisi UU Telekomunikasi dalam Prolegnas 2015. Padahal, draft RUU Telekomunikasi ini sudah kencang dibahas sejak beberapa tahun terakhir.

"Pembahasan draft RUU Telekomunikasi ini sudah lama, kenapa tidak masuk dalam prioritas 2015? Padahal industri telekomunikasi sangat membutuhkan payung hukum yang jelas dan modern di era konvergensi," sesal founder IndoTelko Forum Doni Darwin.

Menurutnya, Indonesia membutuhkan UU Telekomunikasi yang bisa beradaptasi dan meregulasi perkembangan bisnis dunia telekomunikasi yang mengarah ke konvergensi.

"Operator saja sudah berbeda model bisnisnya, ada yang menjadi penyedia jaringan, jasa sekaligus konten. Ada yang melakukan managed services di jaringan dan konten. Ini sudah sangat beragam. Karena itu harus ada payung hukum yang progresif dan modern," tegasnya.

UU Telekomunikasi yang baru harus bisa menegaskan peta peran dari network provider, content provider, dan services provider. "Kalau ini tak jelas, jangan salahkan bakal banyak muncul iklan serobot, karena nanti OTT (over-the-top) sudah seperti operator dan sebaliknya," katanya.

Ditambahkannya, pemicu lain dari mendesaknya revisi UU Telekomunikasi adalah agar adanya payung hukum untuk spectrum sharing atau frequency pooling dan model bisnis lainnya dalam pemanfaatan frekuensi.

"Frekuensi untuk broadband banyak belum optimal digunakan. Kalau aturan tak diubah, kasihan masyarakat yang mengandalkan mobile broadband untuk berinternet," pungkasnya.

(rou/yud)





Hide Ads