Dugaan kebobolan data di KPU beberapa waktu lalu memicu beberapa respon dari masyarakat. Salah satunya dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang merupakan lembaga non-profit.
Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar mengatakan bahwa seharusnya KPU memiliki mekanisme yang menjamin data pemilih dari eksploitasi. Hal ini dapat dilakukan lewat pemusnahan data setelah Pemilu diselenggarakan.
"KPU belum punya mekanisme pemusnahan data pemilih setelah Pemilu, semakin lama data itu disimpan semakin beresiko data tersebut untuk dieksploitasi," terang Wahyudi dalam sesi diskusi ELSAM bertajuk 'Mengidentifikasi Ancaman dan Risiko Keamanan Siber dalam Pemilu 2024' di Tebet, Jakarta Selatan, Rabu (20/12/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia juga sangat menyayangkan bahwa KPU tidak menuntaskan proses investigasi yang ada terhadap dugaan kebocoran data pemilih KPU pada Sistem Informasi Pendataan Pemilih (SIDALIH).
Hal ini juga dikhawatirkan berdampak terhadap risiko kebocoran data KPU di berbagai sistem lain selain SIDALIH.
"Problem secara umum bisa kita lihat, salah satunya ada SIDALIH tentu itu membuka resiko terhadap sistem-sistem lain seperti SILON (Sistem Informasi Pendataan Calon) dan SITUNG (Sistem Informasi Perhitungan Suara)," tambahnya.
Teguh Aprianto, Pendiri Ethical Hacker Indonesia juga menjelaskan bahwa dugaan kebocoran data KPU kali ini bukanlah yang pertama. Ia menyebut bahwa peristiwa semacam ini dapat terjadi lima tahun sekali jelang masa Pemilu.
"Kalau kita lihat dua minggu kemarin kan KPU mengalami kebocoran data, itu bukan yang pertama, 5 tahun sekali juga akan terus terjadi, di tahun 2020 data yang berbentuk PDF lalu 2022 juga ada kemunculan Bjorka, KPU kena lagi," terang Teguh.
Teguh berharap agar KPU seharusnya memiliki mekanisme untuk memastikan sebuah data yang diberikan ke pihak ketiga mulai dari penggunaan sampai data apa yang digunakan.
"Harusnya ketika itu diberikan ke pihak ketiga, harusnya KPU memastikan digunakan untuk apa, data apa yang digunakan," pungkasnya.
(fyk/fyk)