Meski terlihat bombastis dan mungkin dianggap mengerikan, bocoran data dari Bjorka disebut tak ada apa-apanya dibanding bocoran data lain yang beredar di forum hacker.
Hal ini diungkap Ruby Alamsyah, CEO Digital Forensic Indonesia dalam wawancara eksklusif dengan Blak-Blakan detikcom. Menurutnya, apa yang dinarasikan Bjorka ini bisa dibilang lebay, atau bisa juga disebut click bait.
"Kalau mengikuti mengamati data leaks sejak tahun 2019, sepertinya saya itu kebayang sebenarnya orang seperti Bjorka. Itu beda seperti penjual-penjual sebelumnya, beda seperti hacker-hacker yang pada umumnya, narasi dia sama data dia yang dimaksud sedikit lebay. Nah alias kalau kita istilahkan kayak click bait media judulnya apa datanya apa," jelas Ruby
Bedanya, Bjorka ini kemudian dapat dukungan masyarakat, dapat dukungan netizen Indonesia. Sementara itu, tidak ada yang menguji data-data yang disebar. Padahal, asal datanya ini, menurut Ruby, 95% berasal dari kebocoran yang sebelumnya.
Baca juga: Begini Sepak Terjang Bjorka di Forum Hacker |
"Kalau kita perhatikan data-datanya itu apalagi pas data-data pejabat Indonesia itu terkesan dia tidak pernah menyebutkan data dari mana, tampilannya background-nya putih tulisannya seperti dibuat seperti dibuat ulang kalau saya menganalisanya 95% data tampilan pejabat itu ada di data kebocoran sebelumnya sisanya tinggal improvisasi termasuk data asuransi kesehatan kita yang 247 juta NIK kita lengkap," tambahnya.
Untuk itulah, Ruby mengharapkan tim khusus yang dibentuk Presiden Joko Widodo tidak sekadar dibentuk untuk mengejar atau mengurus masalah Bjorka.
"Sayang effortnya kalau cuma kalau cuma menguber Bjorka untuk sekelas data ini," pungkasnya.
Ruby bisa mengatakan seperti itu karena menurutnya di forum-forum hacker tempat tersebarnya berbagai data, ada banyak kebocoran data yang lebih mengerikan dari data-data yang disebar Bjorka.
"Kalau perhatikan benar teliti di forum itu banyak data yang lebih menarik banyak lebih seksi, salah satunya ada fintech ilegal yang menjual data peminjam itu. Itu KTP, plus selfie, plus data pribadi, detail nama orang tua, nama bapak, nama ibu, nama saudara berikut nomor-nomor kontaknya berikut alamatnya kantornya," jelas praktisi keamanan siber ini.
Menurut Ruby, data tersebut dijual dengan harga yang tidak terlalu mahal. Data yang berjumlah hampir satu juta NIK tersebut dijual dengan harga sekitar USD 10 ribu, dan bisa ditawar. Hal ini yang menjadi miris bagi masyarakat.
"Jadi kita miris udah masyarakat ditipu oleh fintech ilegal kena bunga ini, lalu datanya bocor. Pelakunya sih bilang dia punya, dia berhasil menembus, tapi kalau dari bahasanya bukan orang teknis yang ngomong," jelasnya, dan mengasumsikan kalau data tersebut memang sengaja dibocorkan oleh pembuat fintech ilegal.
Selain data dari fintech ilegal, Ruby juga pernah menemukan kebocoran data dari penyedia asuransi kesehatan. Menurutnya itulah kebocoran paling lengkap yang ada saat ini, jumlahnya mencapai 247 juta warga negara Indonesia.
"Itu sih yang paling lengkap dan yang paling miris dan itu jumlahnya 247 juta Warga Negara Indonesia yang berbeda, lengkap dan itu termasuk bayi karena connected ke keluarga itu, NIK, nomor kartu BPJS, nomor kartu keluarga, pasangannya siap, anaknya siapa, perusahaan (tempat kerjanya) di mana, gajinya berapa,"
Menurut Ruby saat itu untuk data yang lengkap dijual dengan harga 1 bitcoin, nilai tukarnya saat data tersebut dijual masih Rp 800 jutaan. Data tersebut kemudian dianalisis oleh Ruby dan timnya, dan ternyata datanya cocok.
"Sangat disayangkan ada pelanggaran yang terjadi. Yaitu tidak semua data peserta BPJS, ada juga data non peserta. Itu kan melanggar undang-undang," keluh Ruby.
Karena itulah menurut Ruby sangat disayangkan jika tim khusus yang dibentuk Presiden Jokowi ini hanya mengejar Bjorka, karena masih banyak prioritas lain yang bisa dikerjakan oleh tim tersebut.