"Kementerian terkait, utamanya Kementerian Kominfo harus mengelaborasi isu ini. Jangan lelet seperti kasus kebocoran data Facebook," ungkap Heru saat dihubungi detikINET, Rabu (18/9/2019).
Kebocoran data pengguna Facebook yang dimaksud oleh Heru ini mengacu pada skandal Cambridge Analytica, pihak ketiga Facebook yang melakukan menyalahgunakan data privasi media sosial buatan Mark Zuckerberg. Dari 87 juta data pengguna yang disalahgunakan untuk kepentingan Pilpres AS 2016 lalu, satu juta di antaranya berasal dari Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Heru juga mengatakan adanya pemanggilan terhadap Amazon dan Lion untuk menelusuri isu kebocoran data penumpang tersebut. Nama Amazon sendiri terseret karena dalam laporan blok teknologi BleepingComputer mengungkap kebocoran tersebut di forum online yang mana data-data tersebut diakses dari sebuah penyimpanan virtual Amazon Web Service (AWS).
"Panggil Amazon dan Lion, apakah benar ada kebocoran? Apakah ada orang Indonesia yang jadi korban? Langkah ke depan apa untuk agar peristiwa tidak terulang lagi. Dan ini jadi pelajaran dan harus jadi pegangan bahwa data pengguna indonesia di maskapai atau apapun harus ditempatkan di Indonesia sehingga lebih aman," tuturnya.
Direktur Eksekutif ICT Institute ini pun menekankan pemerintah perlu berpikir ulang akan rencana revisi PP No 82/2012 di mana data center yang tadinya diwajibkan di Indonesia, kemudian akan dibolehkan dimanapun.
"Pak Jokowi kan bilang, data is the new oil. Jadi, harus dijaga, apalagi menyangkut data pribadi pengguna dari Indonesia," sebutnya.
Sebelumnya diberitakan blog teknologi BleepingComputer mengungkap sebanyak puluhan juta data pelanggan dari dua maskapai penerbangan yang dikelola Lion Air telah bocor di sebuah forum online dalam sebulan terakhir.
Data yang yang bocor terdiri dari informasi kartu penduduk atau KTP penumpang, alamat, nomor telpon, email hingga nomor paspor.
Data-data tersebut diakses dari sebuah penyimpanan virtual Amazone Web Service yang dibuka via web.
Data yang bocor terbagi dalam dua database, pertama berisi 21 juta data, dan database lainnya berisi 14 juta data yang tersimpan dalam file backup yang dibuat pada Mei 2019 untuk Malindo Air dan Thai Lion Air.
(agt/fay)