Serangan hoax ini -- menurut pemerintah AS -- adalah salah satu aksi yang dilakukan Rusia untuk mencampuri urusan dalam negeri AS, dalam hal ini pemilihan presiden (pilpres) AS yang akhirnya dimenangkan oleh Donald Trump.
Menurut penasihat dan mantan penasihat keamanan cyber Gedung Putih, AS terlalu banyak memikirkan strategi ofensif dalam perang cyber ketimbang mempersiapkan pertahanannya dari serangan yang jauh lebih sederhana ketimbang meretas pembangkit listrik, sistem finansial, atau pun manipulasi terhadap mesin-mesin yang digunakan saat pilpres.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ada satu hal yang menghambat upaya penanggulangan penyebaran kabar hoax tersebut, yaitu pemerintah AS merasa dibatasi oleh kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi, demikian dikutip detikINET dari Reuters, Jumat (30/12/2016).
Seorang mantan pejabat di Gedung Putih menyebut jika ada agensi di pemerintahan AS yang mencoba memerangi penyebaran kabar hoax itu akan menghadapi bermacam hambatan politik, hukum dan moral.
"Kamu harus mempunyai pengawasan yang sangat masif dan kebebasan yang terbatas, dan itu adalah sesuatu yang harus dibayar dan kami tak bisa menerima hal tersebut. Mereka (Rusia) bisa mengontrol distribusi informasi dengan cara yang tak bisa kami lakukan," ujar mantan pejabat yang tak disebut namanya itu. (asj/fyk)