Departemen hukum Amerika Serikat (Departemen of Justice, DOJ) mengungkap kalau sejak tahun 2005, Internet Crime Complaint Center (IC3) mencatat ada sekitar 7.700 laporan publik terkait ransomware, dan kerugian tercatat mencapai USD 57,6 juta.
Kerugian itu salah satunya berasal dari uang tebusan yang dibayarkan, yang jumlahnya berkisar dari USD 200 hingga USD 10.000. Sementara untuk tahun 2015, ada sekitar 2.500 kasus ransomware dengan kerugian USD 24 juta, dikutip detikINET dari Business Insider, Jumat (8/4/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ransomware adalah sejenis virus komputer yang akan 'menyandera' data digital, mengenkripsinya sehingga tak bisa dibuka. Lalu si pelaku akan meminta uang tebusan yang akan ditukar dengan kode untuk membuka data tersebut.
Serangan ransomware pun semakin tak pandang bulu dalam menjangkiti korbannya, salah satunya rumah sakit. Contohnya Hollywood Presbyterian Medical Center di AS yang sistem komputernya sempat offline selama seminggu akibat serangan cyber tersebut.
Pelaku penyerangan mengunci sejumlah data milik rumah sakit dan meminta uang tebusan sebanyak USD 3,4 juta untuk membuka data tersebut. Akibatnya, operasional di rumah sakit itu kembali ke zaman kertas, karena sistem komputernya tak bisa digunakan.
Para pasien pun terkena imbasnya, karena setiap hasil tes kesehatan yang dilakukan di rumah sakit itu harus diambil secara personal, padahal biasanya hasil tes tersebut akan dikirimkan menggunakan email. (asj/fyk)