Habibie Prize 2025: Jimly Asshiddiqie Sebut Perlu 'Reset Indonesia'
Hide Ads

Habibie Prize 2025: Jimly Asshiddiqie Sebut Perlu 'Reset Indonesia'

Rachmatunnisa - detikInet
Selasa, 11 Nov 2025 09:15 WIB
Jimly Asshiddiqie
Habibie Prize 2025: Jimly Asshiddiqie Sebut Perlu 'Reset Indonesia' Foto: Rachmatunnisa/detikINET
Jakarta -

Dua puluh lima tahun setelah reformasi, Indonesia dinilai perlu melakukan 'reset'. Hal ini disampaikan penerima penghargaan Habibie Prize 2025 bidang Ilmu Sosial, Politik, Ekonomi, dan Hukum, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

Reset yang ia maksud, tak sekadar mengganti undang-undang atau Lembaga, melainkan menata ulang system konstitusi dan membangun etika bernegara yang kuat.

"Sudah 25 tahun reformasi berjalan, sudah saatnya kita evaluasi lagi. Kita reset ya, bahasa anak muda. Bukan kembali ke masa lalu, tapi kita maju ke depan memperbaiki. Banyak yang perlu diperbaiki," ujar Jimly saat berbicara di acara Habibie Prize 2025 di Gedung B.J. Habibie, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (10/11).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Jimly menjelaskan, reset Indonesia perlu dilakukan menyeluruh, termasuk di lembaga hukum seperti kepolisian yang menjadi garda terdepan penegakan hukum. "Karena polisi itu yang paling depan. Tapi kita harus lakukan kajian ulang secara menyeluruh," katanya.

Lebih jauh, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu menekankan bahwa pembenahan sistem hukum harus berjalan beriringan dengan pembenahan mental dan etika bangsa.

"Kalau kita mau memperbaiki mental manusia, pendekatannya mesti kultural, melalui pendidikan, melalui indoktrinasi. Tapi hasilnya lama. Maka pendekatan kultural harus bareng dengan pendekatan struktural," ujarnya.

Jimly AsshiddiqieJimly Asshiddiqie menerima penghargaan Habibie Prize 2025 dari Kepala BRIN Laksana Tri Handoko. Foto: Rachmatunnisa/detikINET

Etika Sebagai Fondasi Hukum

Jimly mengibaratkan etika sebagai 'samudra' tempat hukum berlayar. Tanpa etika, katanya, hukum tidak dapat mencapai tujuan keadilan. "Kita tidak cukup hanya membangun hukum. Etika itu ibarat samudra, hukum itu kapal. Kapal hukum tidak mungkin berlayar mencapai tepian pulau keadilan kalau samudra etika bangsa kita kering," ucapnya.

Ia pun menggagas pentingnya pembangunan infrastruktur etika bernegara, termasuk kode etik dan lembaga peradilan etik yang berpuncak di Mahkamah Etik Nasional.

"Sekarang tidak ada negara yang tidak punya undang-undang tentang etika pemerintahan. Hukumnya ditegakkan, etikanya juga ditegakkan," tambahnya.

Menutup pembicaraan, Jimly menyampaikan optimisme terhadap generasi muda akademisi dan pembuat kebijakan di Indonesia. "Saya optimistis. Banyak anak muda hebat," yakinnya.

Jimly juga mengapresiasi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang melanjutkan tradisi Habibie Prize sebagai bentuk penghormatan terhadap insan ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Indonesia.

"Budaya memberi penghargaan dan menghormati ilmu harus diperluas di tengah era yang penuh caci maki dan saling merendahkan," ujarnya.

Habibie Prize merupakan bentuk apresiasi tertinggi yang diberikan negara kepada para ilmuwan dan pakar yang telah mendedikasikan karya serta penelitiannya untuk kemajuan bangsa. Penghargaan ini sekaligus menjadi sarana untuk memperkuat ekosistem riset dan inovasi di Indonesia, serta menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan generasi muda.

Nama penghargaan ini diambil dari sosok Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Republik Indonesia ke-3 sekaligus Menteri Riset dan Teknologi periode 1979-1998. Habibie dikenal luas sebagai tokoh visioner yang menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor pembangunan nasional.

Tahun ini, BRIN memberikan penghargaan kepada lima penerima:

  • Dr. rer. nat. Rino Rakhmata Mukti, S.Si., M.Sc. (Ilmu Pengetahuan Dasar)
  • R. Tedjo Sasmono, S.Si., Ph.D. (Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi)
  • Prof. Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt., M.Sc. (Ilmu Rekayasa)
  • Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Ilmu Sosial, Politik, Ekonomi dan Hukum)
  • Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A. (Ilmu Filsafat, Agama dan Kebudayaan)




(rns/rns)
Berita Terkait