Sektor peternakan selama ini dikenal sebagai penyedia protein hewani bagi manusia. Namun di balik itu, kontribusinya terhadap emisi gas rumah kaca, khususnya gas metana, sangat mengkhawatirkan.
"Metana ini kontribusi ke global warming. Bahkan kemampuan metana dalam frekuensi panas dibandingkan karbon dioksida 20 sampai 25 kali lebih tinggi," kata Prof. Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt., M.Sc., saat berbicara di acara Habibie Prize 2025, yang digelar di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung B.J. Habibie, Jl. M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) University ini, selain memperburuk iklim, metana juga menandakan adanya energi yang hilang dari proses pencernaan ternak.
"Biasanya sekitar 4-15% energi yang hilang sebagai metana. Jadi jelasnya. Kalau kita misalkan energi dasar ini, di satu sisi menurunkan emisi lingkungan, satu sisi juga meningkatkan ketersediaan energi bagi ternak untuk produktivitas," jelasnya.
Dengan kata lain, Anuraga dan timnya berhasil menemukan cara untuk menekan emisi metana sekaligus meningkatkan berat badan ternak. Solusi ini datang dari bahan alami berupa senyawa polifenol atau tanin yang diformulasikan dalam bentuk plastic compound dan digunakan sebagai feed additive atau bahan tambahan pakan.
"Pada sapi, bisa meningkatkan pertambahan bobot. Misalnya, biasanya berat badan sapi naik 1,2 kg per hari, bisa meningkat menjadi 1,4 bahkan 1,5 kg per hari," ungkapnya.
Secara sederhana, dengan menekan emisi metana, energi yang semula terbuang bisa dimanfaatkan tubuh ternak untuk pertumbuhan. Dampaknya, lingkungan lebih bersih dan ekonomi peternak lebih kuat karena sapi yang lebih gemuk.
Anuraga Jayanegara berbicara di panggung Habibie Prize 2025. Foto: Rachmatunnisa/detikINET |
Terinspirasi dari Eropa
Inovasi ini bermula dari pengalaman Anuraga saat menempuh studi S2 di Jerman dan S3 di ETH ZΓΌrich, Swiss. Di sana, ilmuwan menggunakan tanin alami untuk meningkatkan produktivitas lahan, menurunkan emisi, dan memperbaiki kualitas lemak hewan ternak.
Konsep itu kemudian ia bawa ke Indonesia, yang mendorongnya meneliti kandungan tanin di tanaman lokal. Hasilnya mengejutkan, karena kandungan tanaman lokal berlipat kali lebih tinggi dibandingkan tanaman di Eropa.
Sayangnya, industri pengolahan tanin di Indonesia belum berkembang, sementara negara seperti Thailand dan Korea sudah lama mengindustrialisasinya.
Padahal, sumber tanin berlimpah di Indonesia, terutama di kulit pohon dan daun-daunan. "Biasanya kulit kayu dibuang atau dibakar setelah panen industri hutan tanaman. Padahal itu sumber bahan bernilai tinggi. Kalau kita bisa ekstraksi dan konsentrasikan, nilai jualnya bisa sampai Rp120 ribu per kg," ujar Anuraga.
Tantangan
Bagi Anuraga, tantangan terbesar bukan pada teknologi, tapi pada industrialisasi dan investasi. "Untuk teknologi know-how-nya Insya Allah kami memahami. Tapi ketika masuk ke tahap atas (skala industri), investasi, harus ini dan itu. Nah, sering kali ada kami tahan diri karena merasa belum yakin ke arah sana," ungkapnya.
Ia berharap kerja sama antara perguruan tinggi, lembaga riset, dan industri bisa semakin erat untuk mewujudkan hal-hal semacam ini. Jika terwujud, lanjut Anuraga, industri hijau berbasis tanin tak hanya akan berkontribusi pada mitigasi iklim, tapi juga membuka lapangan kerja baru di daerah-daerah.
Anuraga Jayanegara menerima penghargaan Habibie Prize 2025 dari Kepala BRIN Laksana Tri Handoko. Foto: Rachmatunnisa/detikINET |
Habibie Prize 2025
Anuraga mengaku tak menyangka menjadi salah satu penerima Habibie Prize 2025. Ia merasa ada banyak orang-orang luar biasa di Indonesia yang memberikan kontribusi.
"Tapi mungkin di sisi lain, mungkin bagi kami (para peneliti), ini sebuah hal kelompok besar kami untuk di-acknowledge," katanya rendah hati.
Ia berharap penghargaan ini menjadi inspirasi bagi generasi muda agar tak takut menekuni sains. "Sains itu seperti jalan ninja. Kadang tak terlihat di permukaan. Kita mungkin gak muncul di permukaan tapi dampaknya yang dirasakan. Itulah bagi saya, sains itu luar biasa," tuturnya.
Berbicara tentang masa depan, Anuraga membayangkan ekosistem pertanian dan peternakan Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
"Di negara maju, petani dan peternak hidup sejahtera. Di Indonesia hingga saat ini belum begitu. Ini yang perlu kita sama-sama tumbuhkan ekosistem agar sistemnya berkeadilan. Keadilan ini sangat penting dalam ekosistem bisnis, tentunya juga nanti kami (para ilmuwan) dalam berinovasi lebih semangat lagi," harapnya.
Habibie Prize merupakan bentuk apresiasi tertinggi yang diberikan negara kepada para ilmuwan dan pakar yang telah mendedikasikan karya serta penelitiannya untuk kemajuan bangsa. Penghargaan ini sekaligus menjadi sarana untuk memperkuat ekosistem riset dan inovasi di Indonesia, serta menumbuhkan semangat ilmiah di kalangan generasi muda.
Nama penghargaan ini diambil dari sosok Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, Presiden Republik Indonesia ke-3 sekaligus Menteri Riset dan Teknologi periode 1979-1998. Habibie dikenal luas sebagai tokoh visioner yang menjadikan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai motor pembangunan nasional.
Tahun ini, BRIN memberikan penghargaan kepada lima penerima:
- Dr. rer. nat. Rino Rakhmata Mukti, S.Si., M.Sc. (Ilmu Pengetahuan Dasar)
- R. Tedjo Sasmono, S.Si., Ph.D. (Ilmu Kedokteran dan Bioteknologi)
- Prof. Dr. Anuraga Jayanegara, S.Pt., M.Sc. (Ilmu Rekayasa)
- Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. (Ilmu Sosial, Politik, Ekonomi dan Hukum)
- Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab, Lc., M.A. (Ilmu Filsafat, Agama dan Kebudayaan).
(rns/rns)













































