Keseimbangan Belahan Bumi Utara dan Selatan Rusak, Ini Bahayanya

Rachmatunnisa - detikInet
Rabu, 29 Okt 2025 10:15 WIB
Foto: NASA
Jakarta -

Bertahun-tahun yang lalu, para ilmuwan mencatat sesuatu yang ganjil, Belahan Bumi Utara dan Selatan memantulkan sinar Matahari kembali ke luar angkasa dalam jumlah yang hampir sama. Alasan mengapa simetri ini ganjil adalah karena Belahan Bumi Utara memiliki lebih banyak daratan, kota, polusi, dan aerosol industri.

Semua hal tersebut seharusnya menyebabkan albedo yang lebih tinggi, yakni lebih banyak sinar Matahari yang dipantulkan daripada yang diserap. Belahan Bumi Selatan sebagian besar berupa lautan, yang lebih gelap dan menyerap lebih banyak sinar Matahari. Namun, data satelit baru menunjukkan simetri sedang rusak.

Dalam studi baru yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, Norman Loeb, seorang ilmuwan iklim di Langley Research Center NASA, bersama rekannya menganalisis 24 tahun pengamatan dari misi Clouds and the Earth's Radiant Energy System (CERES) milik NASA.

Mereka menemukan bahwa Belahan Bumi Utara menggelap lebih cepat daripada Belahan Bumi Selatan. Dengan kata lain, Belahan Bumi Utara menyerap lebih banyak sinar Matahari. Pergeseran ini dapat mengubah pola cuaca, curah hujan, dan iklim planet secara keseluruhan dalam beberapa dekade mendatang.

Sejak 2000, CERES telah mencatat jumlah sinar Matahari yang diserap dan dipantulkan, serta jumlah radiasi inframerah (gelombang panjang) yang kembali ke luar angkasa. Loeb menggunakan pengukuran ini untuk menganalisis perubahan keseimbangan energi Bumi antara 2001 hingga 2024. Keseimbangan energi ini memberi tahu para ilmuwan apakah planet ini menyerap lebih banyak energi daripada yang dilepaskannya dan bagaimana perbedaan tersebut bervariasi antarbelahan Bumi.

"Setiap benda di alam semesta memiliki cara untuk menjaga keseimbangan dengan menerima dan melepaskan energi. Itulah hukum dasar yang mengatur segala sesuatu di alam semesta," kata Zhanqing Li, seorang ilmuwan iklim di University of Maryland yang tidak terlibat dalam penelitian ini.

"Bumi menjaga keseimbangan dengan bertukar energi antara Matahari dan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan Bumi," imbuhnya.

Tim menemukan bahwa Belahan Bumi Utara menyerap sekitar 0,34 watt lebih banyak energi Matahari per meter persegi per dekade dibandingkan Belahan Bumi Selatan. "Perbedaan ini mungkin terdengar kecil, tetapi di seluruh planet, itu angka yang sangat besar," kata Li.

Untuk mengetahui penyebab ketidakseimbangan ini, para ilmuwan menerapkan teknik yang disebut analisis partial radiative perturbation (PRP) atau gangguan radiasi parsial. Metode PRP memisahkan pengaruh faktor-faktor seperti awan, aerosol, kecerahan permukaan, dan uap air dari perhitungan seberapa banyak sinar matahari yang diserap setiap belahan Bumi.

Hasilnya menunjukkan tiga alasan utama mengapa belahan Bumi utara menjadi gelap, mencairnya salju dan es, menurunnya polusi udara, dan meningkatnya uap air.

"Itu sangat masuk akal. Permukaan Belahan Bumi Utara semakin gelap karena salju dan es mencair. Hal itu memperlihatkan daratan dan lautan di bawahnya. Dan polusi telah menurun di tempat-tempat seperti China, AS, dan Eropa. Artinya, jumlah aerosol di udara yang memantulkan sinar Matahari berkurang. Di Belahan Bumi Selatan, justru sebaliknya," rincinya Loeb.

"Karena belahan Bumi utara menghangat lebih cepat, ia juga menyimpan lebih banyak uap air. Uap air tidak memantulkan sinar Matahari, melainkan menyerapnya. Itulah alasan lain mengapa Belahan Bumi Utara menyerap lebih banyak panas," lanjut Loeb.

Temuan Menarik

Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah apa yang tidak berubah selama 20 tahun terakhir: tutupan awan.

"Awan menjadi teka-teki bagi saya karena simetri hemisferiknya. Kami sempat mempertanyakan apakah ini merupakan sifat fundamental dari sistem iklim. Jika ya, awan seharusnya mengimbanginya. Seharusnya kita melihat lebih banyak pantulan awan di Belahan Bumi Utara dibandingkan Belahan Bumi Selatan, tetapi kami tidak melihatnya," kata Loeb yang meneliti menggunakan model untuk memahami awan ini.

"Kami tidak yakin tentang awan. Memahami interaksi aerosol dan awan masih menjadi tantangan besar. Awan tetap menjadi faktor dominan yang mengatur keseimbangan energi kita. Ini sangat penting," Li menambahkan.

Namun, Li mengatakan bahwa penelitian Dr. Norman Loeb menunjukkan bahwa asimetri itu tidak hanya ada, tetapi juga cukup penting untuk mengkhawatirkan apa yang melatarbelakanginya.



Simak Video "Video: Kenapa Musim Kemarau dan Hujan Makin Sulit Dibedakan?"

(rns/rns)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork