Di Matahari Ternyata Ada Hujan, Tapi Ngeri Banget
Hide Ads

Di Matahari Ternyata Ada Hujan, Tapi Ngeri Banget

Rachmatunnisa - detikInet
Senin, 06 Okt 2025 12:20 WIB
Badai Matahari Oktober 2024
Foto: NASA/SDO
Jakarta -

Para peneliti dari Hawai'i University telah memecahkan misteri hujan Matahari yang terjadi di korona Matahari, lapisan terluar atmosfernya. Ini bukan hujan air, melainkan hujan gumpalan plasma panas yang jatuh kembali ke permukaan Matahari setelah dipanaskan selama jilatan Matahari.

Terobosan ini dapat menyempurnakan model surya, meningkatkan prediksi cuaca antariksa, dan pada akhirnya membantu melindungi Bumi dari dampak aktivitas Matahari, terutama ketika sedang aktif-aktifnya.

Selama beberapa dekade, para ilmuwan telah dibuat bingung tentang bagaimana gumpalan plasma ini terbentuk begitu cepat selama jilatan Matahari, terutama mengingat jilatan Matahari itu sendiri dapat terjadi hanya dalam hitungan menit. Penelitian yang dilakukan oleh Luke Benavitz, seorang mahasiswa pascasarjana di Institute for Astronomy University of Hawai'i (IfA), dan astronom Jeffrey Reep, akhirnya memberikan penjelasan yang detail.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ketika kita membiarkan unsur-unsur seperti besi berubah seiring waktu, model-model tersebut akhirnya cocok dengan apa yang sebenarnya kita amati di Matahari," kata Benavitz seperti dikutip dari The Daily Galaxy, Senin (6/10/2025).

ADVERTISEMENT

Temuan mereka menunjukkan bahwa perilaku unsur-unsur ini di atmosfer Matahari merupakan faktor krusial dalam bagaimana hujan Matahari terbentuk begitu cepat. Salah satu temuan paling signifikan dalam penelitian ini adalah perlunya mempertimbangkan kembali asumsi lama tentang korona Matahari.

Dalam model-model sebelumnya, para ilmuwan berasumsi bahwa distribusi unsur-unsur seperti besi tetap konstan. Namun, penelitian Benavitz dan Reep menunjukkan bahwa hal ini tidak berlaku. Mereka menemukan bahwa distribusi unsur-unsur ini di korona berubah seiring waktu, yang secara langsung memengaruhi pembentukan hujan Matahari selama jilatan Matahari. Wawasan ini secara signifikan mengubah cara para ilmuwan memodelkan perilaku bola api raksasa tersebut.

"Sangat menarik untuk melihat bahwa ketika kita membiarkan unsur-unsur seperti besi berubah seiring waktu, model-model tersebut akhirnya cocok dengan apa yang sebenarnya kita amati di Matahari," Benavitz menjelaskan.

Dampak Suar Matahari Terhadap Bumi

Suar Matahari ini melepaskan sejumlah besar energi dalam waktu singkat. Model sebelumnya menunjukkan bahwa hujan matahari akan terbentuk dalam hitungan jam atau hari, tetapi penelitian baru menunjukkan bahwa proses ini dapat terjadi jauh lebih cepat.

"Kami tidak dapat melihat proses pemanasan secara langsung, jadi kami menggunakan pendinginan sebagai proksi," kata Reep.

Proses pendinginan ini krusial untuk memahami pembentukan hujan Matahari, karena plasma mendingin dengan cepat dan mengembun menjadi gumpalan yang jatuh kembali ke permukaan Matahari. Pembentukan hujan Matahari yang lebih cepat selama jilatan Matahari, lebih sesuai dengan pengamatan di dunia nyata.

Seiring suar Matahari terus berdampak pada Bumi, penelitian ini dapat meningkatkan prediksi peristiwa cuaca antariksa yang mengganggu komunikasi satelit, jaringan listrik, dan teknologi lainnya. Dengan lebih memahami perilaku suar Matahari dan dampaknya terhadap atmosfer Matahari, para ilmuwan dapat menyempurnakan model dan membuat prediksi cuaca antariksa yang lebih akurat.

Salah satu hal terpenting dari penemuan ini adalah bagaimana ia menantang gagasan lama tentang bagaimana energi bergerak melalui korona Matahari. Model-model sebelumnya mengasumsikan bahwa jumlah unsur di lapisan terluar Matahari tetap sama, tetapi penelitian Benavitz dan Reep menunjukkan bahwa unsur-unsur tersebut sebenarnya berubah seiring waktu.

Hal ini dapat mendorong para ilmuwan untuk memikirkan kembali bagaimana energi mengalir melalui atmosfer Matahari dan bagaimana jilatan Matahari terjadi. Reep menjelaskan dampak dari pergeseran ini.

"Jika model kami tidak memperhitungkan kelimpahan dengan tepat, waktu pendinginan kemungkinan telah ditaksir terlalu tinggi," ujarnya.

Ini bisa berarti bahwa kita telah salah memahami proses pendinginan selama jilatan Matahari, yang memiliki implikasi besar terhadap cara kita memodelkan energi Matahari.




(rns/fay)
Berita Terkait