Polusi udara yang tersebar di wilayah perkotaan ternyata lebih mematikan dibandingkan debu Bulan. Hal itu dibuktikan langsung oleh para ilmuwan.
Debu Bulan sejauh ini tidak menimbulkan efek bahaya bagi manusia seperti yang diperkirakan. Justru melalui eksperimen terbaru membuktikan bahwa polusi udara yang setiap masyarakat urban jauh lebih beracun.
Kekhawatiran tentang racun debu Bulan itu muncul selama misi Apollo lebih dari setengah abad lalu. Debu Bulan bermuatan statis, memungkinkannya menempel pada pakaian antariksa astronot.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Setelah para astronot menjalankan misi yang kemudian kembali ke dalam wahana pendarat bulan setelah berjalan di satelit alami Bumi, debu tersebut beterbangan di kabin dan terhirup, yang menyebabkan para astronot menderita masalah pernapasan yang menghilang setelah sekitar 24 jam.
Astronot Apollo 17 Harrison Schmitt menggambarkannya seperti mengalami 'demam serbuk sari bulan', dengan mata perih, bersin, dan sakit tenggorokan. Ketika gejala itu hilang, kekhawatiran terhadap kesehatan manusia menjadi pertimbangan misi berawak selanjutnya ke Bulan.
Selain itu, saat kembali ke Bumi, dokter penerbangan Apollo melaporkan masalah serupa setelah membongkar bekas pakaian antariksa. Dalam kasus yang diteliti, mereka melaporkan bahwa gejalanya bertambah parah setelah setiap misi, yang menunjukkan bahwa paparan berulang terhadap debu bulan memperburuk toksisitasnya.
Namun seiring penelitian yang terus berkembang mengungkapkan potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh debu Bulan terhadap manusia. Hal itu dilakukan oleh Michela Smith, seorang mahasiswa PhD di kelompok penelitian pernafasan Universitas Sydney.
Smith melakukan eksperimen menggunakan dua tiruan bulan - replika debu Bulan asli, karena sampel debu bulan asli terbatas - yang dianalogikan dengan debu bulan yang ditemukan di dataran rendah vulkanik bulan yang gelap dan dataran tinggi yang lebih tua. Partikel tiruan tersebut lebih kecil dari 2,5 mikron (sepersejuta meter), cukup kecil untuk dihirup dan kemudian terperangkap di saluran udara bagian bawah paru-paru.
Untuk merepresentasikan paru-paru, Smith memasukkan debu tiruan ke dalam dua jenis sel paru-paru yang berbeda, yaitu sel bronkial dan alveolar, yang masing-masing merepresentasikan bagian atas dan bawah paru-paru.
Setelah itu, Smith kemudian melakukan percobaan yang sama tetapi dengan partikel udara yang diambil sampelnya dari jalan Sydney yang ramai, dan membandingkan efek debu bulan dengan polusi udara.
Hasilnya ditemukan meskipun bentuk dan kekasaran debu Bulan yang tidak teratur masih mengiritasi paru-paru, di mana dampaknya jauh lebih kecil dibandingkan dengan polusi udara.
Penting untuk membedakan antara iritan fisik dan zat yang sangat beracun," kata Smith sebagaimana dikutip dari Space, Rabu (25/6/2025).
"Temuan kami menunjukkan bahwa meskipun debu bulan dapat menyebabkan iritasi langsung pada saluran pernapasan, debu tersebut tampaknya tidak menimbulkan risiko penyakit kronis jangka panjang seperti silikosis, yang disebabkan oleh bahan seperti debu silika (seperti di lokasi konstruksi, misalnya)."
Penelitian ini menjadi kabar baik bagi Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) yang masih menanggapi tantangan kesehatan akibat debu Bulan secara serius saat mereka merencanakan misi Artemis 3 yang akan membawa manusia kembali ke permukaan bulan untuk pertama kalinya sejak 1972.
(agt/fyk)