Fenomena bully kembali jadi bahasan setelah aksi Geng Tai yang viral di media sosial. Sebuah studi menunjukkan bahwa bullying di sekolah meninggalkan bekas yang sangat mendalam pada tubuh dan pikiran anak-anak korban bullying selama bertahun-tahun setelah penindasan dilakukan, bahkan hingga mereka dewasa.
Para peneliti menemukan bahwa bullying memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan anak-anak yang berulang kali menjadi sasaran, dan hal ini berkaitan dengan kesehatan mental dan fisik yang lebih buruk, peningkatan gejala depresi, dan rasa rendah diri.
Dikutip dari Live Science, studi ini juga mengungkapkan bahwa korban perundungan di masa sekarang bernasib lebih malang dibandingkan zaman dulu.
"Efek penindasan dapat semakin besar seiring berjalannya waktu," kata peneliti studi Laura Bogart, seorang psikolog sosial di Boston Children's Hospital.
Temuan yang dipublikasikan pada 17 Februari dan akan muncul di jurnal Pediatrics edisi Maret ini menyebutkan, anak-anak yang terus-menerus mengalami bullying, memiliki dampak yang lebih parah.
"Hasilnya adalah argumen kuat untuk segera melakukan intervensi dini terhadap penindasan," kata Bogart.
Intervensi dini
Dalam studi tersebut, para peneliti menyurvei hampir 4.300 siswa yang bersekolah di sekolah negeri di Los Angeles, Houston dan Birmingham, Ala. Mereka mengumpulkan data dari siswa ketika mereka berada di kelas lima, tujuh dan 10, juga dari orang tua mereka.
Untuk menentukan apakah siswa sering atau berulang kali ditindas di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas, mereka ditanyai seberapa sering anak lain menendang atau mendorong mereka dengan cara yang kejam selama setahun terakhir. Anak-anak juga mengisi kuesioner yang menggambarkan kesejahteraan fisik dan mental mereka.
Pada kelas 10, sekitar 30% siswa dalam penelitian ini pernah mengalami perundungan. Di ketiga tingkatan kelas, siswa yang tidak pernah ditindas dinyataka paling sehat secara psikologis.
Namun, bahkan anak-anak yang pernah ditindas di masa lalu pun memiliki luka psikologis yang bertahan lama, meski tidak sebesar anak-anak yang ditindas saat ini atau yang berulang kali ditindas.
Bagi anak-anak tersebut, skor kesehatan mentalnya menurun seiring berjalannya waktu, menunjukkan bahwa mereka tidak merasa nyaman dengan diri mereka sendiri dan mengalami lebih banyak emosi negatif.
Penelitian ini tidak melihat keseluruhan dampak fisik dari penindasan, namun kuesioner ini menanyakan anak-anak tentang aktivitas fisik dasar, seperti apakah penindasan menyebabkan mereka kesulitan berjalan di sekitar rumah, melakukan pekerjaan rumah, atau berolahraga.
Studi tersebut tidak mempertimbangkan keluhan fisik dan cedera, seperti sakit perut, nyeri, luka dan patah tulang. Bogart juga mengatakan penelitian ini hanya mengukur bullying secara langsung dan tidak mencakup cyberbullying atau perundungan di dunia maya.
"Meski demikian, cyberbullying akan menjadi arah masa depan yang baik untuk penelitian ini," kata Bogart.
Tanda peringatan
Temuan menunjukkan bahwa luka emosional akibat penindasan mungkin akan tetap ada, bahkan bertahan lama setelah ejekan dan penindasan tersebut berhenti. Lalu, apa yang bisa dilakukan para orang tua untuk membantu anaknya?
"Langkah pertama bagi orang tua adalah memperkuat komunikasi dengan anak, sehingga perundungan muncul dalam percakapan, terutama di usia yang lebih muda," kata Bogart.
"Hal ini bisa muncul sebagai bagian dari diskusi yang lebih luas tentang menghormati orang lain dan menerima perbedaan di antara mereka," sarannya.
Bogart juga merekomendasikan agar orang tua memperhatikan dan mengenali tanda-tanda bullying, yang mungkin bukan merupakan tanda fisik yang jelas seperti mata hitam, namun bisa berupa goresan atau memar yang tidak dapat dijelaskan.
Orang tua juga dapat memperhatikan perubahan kecil pada perilaku anak, seperti tidak mau pergi ke sekolah atau tampak lebih cemas, sedih, atau depresi.
Bogart juga menyarankan agar orang tua lebih waspada terhadap tanda-tanda peringatan ini jika anak mereka termasuk dalam salah satu kelompok berisiko tinggi yang lebih mungkin mengalami perundungan. Ini termasuk anak-anak yang mengalami obesitas atau penyandang disabilitas, serta remaja lesbian, gay, biseksual atau transgender.
Meskipun tidak semua anak menjadi korban penindasan, banyak anak yang terkena dampaknya dan melihatnya terjadi di sekolah, serta menyadari bahwa hal tersebut sedang terjadi, kata Bogart.
Dia menyarankan orang tua untuk membantu mengajari anak-anak bahwa tidak apa-apa untuk angkat bicara jika mereka menyaksikan seseorang ditindas.
Simak Video "Video Viral Bullying Remaja Wanita di Blitar, Korban Dijambak 3 Orang"
(rns/rns)