Viral di media sosial dugaan kasus perundungan sekelompok siswa sekolah menengah atas (SMA) bernama 'Geng Tai' yang disebut-sebut melibatkan anak Vincent Rompies. Siswa yang menjadi korban disebut mengalami luka dan dirawat di rumah sakit. Ada apa di balik fenomena ini?
Menurut riset ilmiah, melakukan penindasan atau bullying, baik secara fisik maupun verbal, dianggap meningkatkan status sosial dan popularitas siswa sekolah menengah. Setidaknya demikian menurut sebuah studi psikologi di University of California (UCLA).
Penelitian yang dilakukan UCLA ini memiliki implikasi terhadap program yang bertujuan memerangi penindasan di sekolah. Selain itu, para peneliti menemukan bahwa siswa akan dianggap populer jika terlibat dalam bentuk-bentuk intimidasi dan bullying terhadap siswa lain.
Dalam studinya, para psikolog mempelajari 1.895 siswa beragam etnis dari 99 kelas di 11 sekolah menengah di Los Angeles, Amerika Serikat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mereka melakukan survei di tiga titik selama musim semi kelas tujuh, musim gugur kelas delapan, dan musim semi kelas delapan. Siswa diminta menyebutkan nama siswa yang dianggap 'paling keren', siswa yang 'kerap berkelahi atau mendorong anak lain', dan siswa yang 'menyebarkan rumor buruk tentang anak lain'.
Para siswa yang dinobatkan sebagai siswa paling keren pada suatu waktu sebagian besar akan dinobatkan sebagai siswa paling agresif, dan siswa yang dianggap paling agresif secara signifikan lebih mungkin untuk dinobatkan sebagai siswa paling keren. Hasilnya menunjukkan bahwa agresi fisik dan penyebaran rumor sangat dipandang oleh siswa sekolah menengah.
"Orang yang dianggap keren lebih sering melakukan intimidasi, demikian pula orang yang lebih sering melakukan intimidasi dianggap keren," kata Jaana Juvonen, profesor psikologi UCLA dan penulis utama studi tersebut, dikutip dari Newsroom UCLA.
"Yang paling menarik adalah bentuk agresi, baik yang terlihat jelas, dan yang jelas-jelas konfrontatif atau tidak, tidak menjadi masalah. Mendorong siswa lain dengan bergosip mengenai anak lain akan berdampak sama pada anak laki-laki dan perempuan," jelasnya.
"Dorongan dari penelitian ini adalah untuk mencari tahu apakah agresi meningkatkan status sosial, atau apakah mereka yang dianggap populer menyalahgunakan kekuasaan sosial dan prestise mereka dengan merendahkan anak-anak lain," katanya.
"Kami menemukan cara ini bekerja dua arah baik untuk bentuk agresi yang 'tipe laki-laki' dan 'tipe perempuan'," imbuhnya.
Menekan Bullying yang Efektif
Penelitian yang dipublikasikan secara online di Journal of Youth and Adolescence ini menyiratkan harus ada program anti-intimidasi yang canggih dan halus agar berhasil.
"Pesan sederhana, seperti 'Penindasan tidak ditoleransi,' sepertinya tidak akan efektif," kata Juvonen.
Program anti-intimidasi di sekolah yang efektif perlu fokus pada para pengamat, yang memainkan peran penting dan dapat mendorong atau mencegah intimidasi.
Menurut Juvonen yang telah melakukan penelitian tentang intimidasi sejak pertengahan tahun 1990an dan menjabat sebagai konsultan di sekolah-sekolah mengenai anti-intimidasi, para pengamat harus disadarkan akan konsekuensi menyebarkan rumor dan mendorong agresi serta dampak buruk yang ditimbulkan oleh penindasan.
Penelitian Juvonen saat ini didukung secara federal oleh National Science Foundation dan National Institutes of Health's National Institute of Child Health and Human Development.
Juvonen dan rekan-rekannya melaporkan pada tahun 2003 bahwa pelaku intimidasi adalah anak yang populer dan dihormati serta dianggap sebagai anak-anak yang 'keren'.
Desas-desus yang disebarkan oleh siswa sekolah menengah seringkali melibatkan isu seputar seksualitas (mengatakan bahwa seorang siswa adalah gay atau melakukan hubungan seks bebas) dan penghinaan dalam keluarga.
Seperti halnya siswa sekolah menengah, Juvonen mencatat, primata non-manusia juga menggunakan agresi untuk meningkatkan peringkat sosial.
Rekan penulis studi baru ini adalah mantan mahasiswa pascasarjana psikologi UCLA Yueyan Wang dan mahasiswa doktoral psikologi UCLA Guadalupe Espinoza.
Dalam penelitian sebelumnya, Juvonen dan rekan-rekannya telah melaporkan bahwa hampir tiga dari empat remaja mengatakan bahwa mereka mengalami bullying online setidaknya sekali selama periode 12 bulan terakhir, dan hanya satu dari 10 yang melaporkan perundungan tersebut kepada orang tua atau orang dewasa lainnya.
Hampir separuh siswa kelas enam di dua sekolah negeri di wilayah Los Angeles mengatakan bahwa mereka diintimidasi oleh teman sekelasnya selama periode lima hari. Selain itu, siswa sekolah menengah yang menjadi korban perundungan di sekolah kemungkinan besar akan merasa depresi, kesepian, dan sengsara, yang pada gilirannya membuat mereka lebih rentan terhadap insiden perundungan lebih lanjut, dan penindasan itu menyebar luas.
"Penindasan adalah masalah yang dihadapi banyak anak setiap hari di sekolah. Ini bukan hanya masalah bagi segelintir anak yang kurang beruntung," kata Juvonen.
"Para siswa menyebutkan mereka mengalami perasaan terhina, cemas atau tidak suka ke sekolah pada hari-hari ketika mereka melaporkan insiden, yang menunjukkan bahwa dampaknya tidak bisa disepelekan," ujarnya.
Juvonen menyarankan para orang tua untuk lebih sering mengobrol dengan anak-anak mereka tentang penindasan sebelum hal itu terjadi, serta cermat dalm memperhatikan perubahan perilaku anak-anak mereka, dan menanggapi kekhawatiran mereka dengan serius.
Temuan studi ini juga menyebutkan, siswa yang menjadi korban bullying sering kali mengalami sakit kepala, pilek, dan penyakit fisik lainnya, serta masalah psikologis.
(rns/rns)