Ilmuwan yang tergabung dalam Bulletin of the Atomic Scientists (BAS) memberikan pernyataan resmi bahwa jarum Jam Kiamat 2024 berada di angka 90 detik menuju kehancuran.
Angka ini tidak bergerak dari Jam Kiamat tahun 2023. Meski demikian, ilmuwan memberikan peringatan bahwa ini bukan pertanda kestabilan melainkan Bumi konsisten mengalami tren buruk yang mengarah pada bencana global.
Berikut adalah sejumlah alasan dan perhitungan yang dikemukakan para ilmuwan yang memperkuat pernyataan mereka bahwa kiamat makin dekat.
Ancaman nuklir
"Akhir perang Rusia di Ukraina tampaknya masih jauh, dan penggunaan senjata nuklir oleh Rusia dalam konflik tersebut masih merupakan kemungkinan yang serius," kata para ilmuwan seperti dikutip dari situs resmi Bulletin of the Atomic Scientists.
Program belanja nuklir di tiga negara kekuatan nuklir terbesar yakni China, Rusia, dan Amerika Serikat, mengancam akan memicu perlombaan senjata nuklir tiga arah seiring dengan runtuhnya arsitektur pengendalian senjata dunia. Rusia dan China sedang memperluas kemampuan nuklir mereka, dan tekanan pun meningkat di Amerika Serikat agar merespons dengan cara yang sama.
Sementara itu, potensi krisis nuklir lainnya semakin memburuk. Iran terus memperkaya uranium hingga mendekati tingkat senjata, sambil menghalangi Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dalam menangani isu-isu penting. Upaya untuk mengembalikan kesepakatan nuklir Iran tampaknya tidak akan berhasil, dan Korea Utara terus membuat senjata nuklir dan rudal jarak jauh. Ekspansi nuklir di Pakistan dan India pun terus berlanjut tanpa jeda atau hambatan.
Selain itu, perang di Gaza antara Israel dan Hamas berpotensi meningkat menjadi konflik Timur Tengah yang lebih luas dan dapat menimbulkan ancaman yang tidak dapat diprediksi, baik secara regional maupun global.
Perubahan iklim
Tahun 2023, Bumi mengalami rekor tahun terpanas di tengah kondisi emisi gas rumah kaca global yang terus meningkat. Suhu permukaan laut global dan Atlantik Utara memecahkan rekor, dan es laut Antartika mencapai tingkat harian terendah sejak munculnya data satelit.
"Dunia sudah menghadapi risiko melebihi target Perjanjian Paris, yakni kenaikan suhu tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius di atas suhu pra-industri. Hal ini terjadi karena kurangnya komitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan tidak memadainya implementasi komitmen yang telah dibuat. Untuk menghentikan pemanasan lebih lanjut, dunia harus mencapai nol emisi karbon dioksida," kata ilmuwan.
Berbagai upaya yang dilakukan saat ini untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, dinilai para ilmuwan tidak cukup untuk menghindari dampak berbahaya terhadap manusia dan ekonomi akibat perubahan iklim, yang secara tidak proporsional berdampak pada masyarakat termiskin di dunia.
"Jika upaya ini tidak ditingkatkan secara signifikan, maka jumlah korban manusia akibat gangguan iklim akan semakin meningkat," ilmuwan mengingatkan.
Ancaman biologis terus berkembang
Revolusi dalam ilmu hayati dan teknologi terkait terus meluas pada tahun lalu, termasuk, khususnya, peningkatan kecanggihan dan efisiensi teknologi rekayasa genetika.
"Kami menyoroti satu isu yang menjadi perhatian khusus: konvergensi alat kecerdasan buatan (AI) dan teknologi biologis yang muncul dapat secara radikal memberdayakan individu untuk menyalahgunakan biologi," sebut ilmuwan.
Oktober 2023, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menandatangani perintah eksekutif tentang 'AI yang aman, terjamin, dan tepercaya' yang menyerukan perlindungan "terhadap risiko penggunaan AI untuk merekayasa bahan biologis berbahaya dengan mengembangkan standar baru yang kuat untuk penyaringan sintesis biologis.
"Meskipun merupakan langkah yang berguna, perintah tersebut tidak mengikat secara hukum. Kami khawatir AI berbasis large language model (LLM) memungkinkan individu yang tidak mempunyai cukup pengetahuan untuk mengidentifikasi, memperoleh, dan menyebarkan agen biologis yang bisa membahayakan sejumlah besar manusia, hewan, tumbuhan, dan elemen lingkungan lainnya," tegas ilmuwan.
Bahaya AI
Salah satu perkembangan teknologi paling signifikan pada tahun lalu melibatkan kemajuan dramatis dalam kecerdasan buatan generatif. Kecanggihan chatbot berbasis LLM seperti ChatGPT, membuat beberapa pakar terkemuka menyatakan keprihatinan tentang risiko eksistensial yang timbul dari kemajuan pesat di bidang ini.
Namun pihak lain berpendapat bahwa klaim mengenai risiko eksistensial mengalihkan perhatian dari ancaman nyata dan langsung yang ditimbulkan oleh AI saat ini. Terlepas dari itu, AI adalah teknologi disruptif yang paradigmatik sehingga upaya terbaru dalam tata kelola AI global harus diperluas.
"AI mempunyai potensi besar untuk memperbesar disinformasi dan merusak lingkungan informasi yang menjadi sandaran demokrasi. Upaya disinformasi yang didukung oleh AI dapat menjadi faktor yang menghambat dunia dalam menangani risiko nuklir, pandemi, dan perubahan iklim secara efektif," jelas ilmuwan.
Saat ini adopsi AI di lingkup militer berlangsung cepat. Penggunaan AI secara ekstensif sudah terjadi dalam bidang intelijen, pengawasan, pengintaian, simulasi, dan pelatihan.
Yang menjadi perhatian khusus adalah senjata otonom yang mematikan, yang dapat mengidentifikasi dan menghancurkan sasaran tanpa campur tangan manusia. Keputusan untuk menjadikan AI mengendalikan sistem fisik yang penting, khususnya senjata nuklir, dapat menimbulkan ancaman langsung terhadap umat manusia.
Untungnya, banyak negara menyadari pentingnya mengatur AI dan mulai mengambil langkah-langkah untuk mengurangi potensi dampak buruknya. Namun ini hanyalah langkah kecil, masih banyak yang harus dilakukan untuk menerapkan aturan dan norma yang efektif, meskipun terdapat tantangan besar dalam mengatur kecerdasan artifisial.
Simak Video "Video: Pasijah dan Aksi Tanam Bakau Demi Menangkal Pasang Surut Air Laut"
(rns/rns)