Analisa Psikolog Kenapa TikToker Tangisi Prabowo di Debat Capres
Hide Ads

Analisa Psikolog Kenapa TikToker Tangisi Prabowo di Debat Capres

Aisyah Kamaliah - detikInet
Kamis, 11 Jan 2024 11:16 WIB
Prabowo Subianto di panggung debat pilpres ketiga (Dok. KPU RI)
Di medsos, banyak TikToker yang menangisi Prabowo Subianto capres nomor urut 2 di Debat Capres kemarin. Secara psikologi, mengapa hal tersebut dapat terjadi? Foto: Prabowo Subianto di panggung debat pilpres ketiga (Dok. KPU RI)
Jakarta -

Di medsos, banyak TikToker yang menangisi Prabowo Subianto capres nomor urut 2 di Debat Capres kemarin. Tak sedikit yang mengunggah video mereka menitikkan air mata saat sedang menyaksikan acara itu.

Sebenarnya, secara psikologi, apa yang bisa menyebabkan reaksi tersebut terjadi? detikINET pun menghubungi psikolog klinis dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Anna Surti Ariani untuk mengupas fenomena orang yang menangisi seorang tokoh.

Menurutnya, pertama-tama kita harus mengetahui apa yang dilihat di media sosial bisa benar-benar tangisan simpati atau hanya tangisan buatan. Tentunya ada alasan mengapa ada orang yang seniat itu untuk pura-pura menangis.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Bohongan itu misalnya karena pingin menampilkan bahwa dia sangat mendukung paslon, atau berusaha memberikan citra kepada orang lain bahwa dukungan kepada paslon tertentu itu benar-benar mendalam," ujar psikolog yang akrab disapa Nina itu.

Akan tetapi, bisa saja seseorang menangisi salah satu paslon di debat kemarin. Itu dikarenakan mungkin saja paslon tersebut berarti bagi mereka.

ADVERTISEMENT

"Bisa (tangisan) beneran, misalnya karena dia sangat mengidolakan paslon tertentu sehingga bersimpati berlebihan," jabarnya.

Ada catatan, yang namanya simpati itu berbeda dengan empati. Empati berarti memahami perasaan, namun tidak ikut terhanyut. Sementara simpati itu perasaannya ikut terhanyut.

"Jadi kalau kita bersimpati kepada idola, ketika idola kita terlihat sedih, kita juga ikut bersedih. Makanya nih kalau dalam dunia kesehatan jiwa, selalu diingatkan bahwa yang dibutuhkan itu empati, bukan simpati. Kalau kita berempati, karena tidak terlarut, kita jadi bisa berpikir dan membantu klien / pasien. Namun kalau bersimpati, kita justru jadi mengalami keluhan-keluhan klien / pasien sehingga tidak bisa sepenuhnya membantu," ungkapnya.

Tentang normal atau berlebihan, ini tergantung bagaimana kita mendefinisikannya. Jika definisinya adalah banyaknya orang yang melakukan, maka bisa dibilang normal kalau memang banyak sekali yg melakukan, dan sebaliknya 'tidak normal' ketika hanya sedikit orang.

"Kalau definisinya mengganggu atau tidak, digali aja seberapa banyak yang jadi terganggu atau tersakiti dengan mereka-mereka yang ikut nangis-nangis ini. Lalu kl definisi normalnya beda, ya tentunya ukurannya juga jadi beda," tandasnya.




(ask/fay)
Berita Terkait