Pilu, Gajah Zimbabwe Mati Massal Akibat Kekeringan Parah
Hide Ads

Pilu, Gajah Zimbabwe Mati Massal Akibat Kekeringan Parah

Rachmatunnisa - detikInet
Sabtu, 30 Des 2023 20:45 WIB
Gajah Zimbabwe mati akibat kekeringan
Pilu, Gajah Zimbabwe Mati Massal Akibat Kekeringan Parah. Foto: Zinyange Auntony/AFP
Jakarta -

Setidaknya 100 gajah mati di taman nasional terbesar di Zimbabwe dalam beberapa pekan terakhir karena kekeringan. Bangkai mereka merupakan contoh mengerikan dampak perubahan iklim dan fenomena cuaca El Nino.

Pihak berwenang memperingatkan bahwa akan lebih banyak lagi korban karena prakiraan menunjukkan kurangnya curah hujan dan peningkatan panas di beberapa bagian negara Afrika bagian selatan, termasuk Taman Nasional Hwange. International Fund for Animal Welfare menggambarkan krisis ini sebagai krisis bagi gajah dan hewan lainnya.

"El Nino memperburuk situasi yang sudah mengerikan ini," kata Tinashe Farawo, juru bicara Otoritas Pengelolaan Taman Nasional dan Satwa Liar Zimbabwe, dikutip dari CBS News.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

El Nino adalah fenomena cuaca alami dan berulang yang menghangatkan sebagian wilayah Pasifik, sehingga mempengaruhi pola cuaca di seluruh dunia. Meskipun El Nino tahun ini menyebabkan banjir mematikan di Afrika Timur, dampaknya di sisi lain diperkirakan akan menyebabkan curah hujan di bawah rata-rata di seluruh Afrika bagian selatan.

Hal ini sudah dirasakan di Zimbabwe. Musim hujan dimulai beberapa minggu lebih lambat dari biasanya. Meskipun saat ini sudah turun hujan, prakiraan cuaca secara umum memperkirakan akan terjadi musim panas yang kering dan terik dalam beberapa pekan ke depan.

ADVERTISEMENT

Studi menunjukkan bahwa perubahan iklim mungkin membuat El Nino semakin kuat dan menimbulkan konsekuensi yang lebih ekstrem. Pihak berwenang khawatir kejadian tahun 2019 terulang kembali, ketika lebih dari 200 gajah di Hwange mati akibat kekeringan parah.

"Fenomena ini berulang," kata Phillip Kuvawoga, direktur program lanskap di International Fund for Animal Welfare. Ia menyampaikan kekhawatiran terhadap gajah di Hwange dalam sebuah laporan bulan ini.

Juru bicara Badan Taman Nasional Farawo mengunggah video di situs media sosial X/Twitter, yang menunjukkan seekor gajah muda berjuang untuk hidup setelah terjebak dalam lumpur di lubang air yang sebagian mengering di Hwange.

"Gajah yang paling terkena dampaknya adalah gajah muda, tua, dan sakit yang tidak dapat melakukan perjalanan jauh untuk mencari air," kata Farawo.

Ia mengatakan, seekor gajah berukuran rata-rata membutuhkan asupan air harian sekitar 52 galon. Farawo membagikan gambar lain yang menunjukkan seekor gajah betina terjebak di lumpur dan seekor lainnya ditemukan mati di lubang air yang dangkal.

Penjaga taman mengambil gading gajah yang mati untuk diamankan agar bangkainya tidak menarik perhatian pemburu liar.

Hwange adalah rumah bagi sekitar 45 ribu gajah bersama lebih dari 100 spesies mamalia lainnya dan 400 spesies burung. Musim hujan di Zimbabwe pernah dimulai pada Oktober dan berlangsung hingga Maret.

Keadaan menjadi tidak menentu dalam beberapa tahun terakhir dan para pegiat lingkungan hidup menyadari musim kemarau yang lebih panjang dan parah.

"Wilayah kami akan memiliki curah hujan yang jauh lebih sedikit, sehingga musim kemarau bisa segera kembali karena El Nino," kata Trevor Lane, direktur The Bhejane Trust, sebuah kelompok konservasi yang membantu badan pertamanan Zimbabwe.

Dia mengatakan, organisasinya telah memompa 1,5 juta liter air ke dalam lubang air Hwange setiap hari dari lebih dari 50 lubang bor yang dikelolanya melalui kemitraan dengan dinas pertamanan.

Taman seluas 5.600 mil persegi ini tidak memiliki sungai besar yang mengalir melaluinya. Sebagai gantinya, terdapat lebih dari 100 lubang bor bertenaga surya yang memompa air untuk hewan-hewan tersebut.

Para pelestari lingkungan menyebutkan, menyelamatkan gajah bukan hanya demi kepentingan hewan. Mereka adalah sekutu utama dalam memerangi perubahan iklim melalui ekosistem dengan menyebarkan vegetasi dalam jarak jauh melalui kotoran yang mengandung benih tanaman, sehingga hutan dapat menyebar, beregenerasi, dan tumbuh subur. Kemudian, pepohonan akan menyedot karbon dioksida penyebab pemanasan global dari atmosfer.

"Mereka mempunyai peran yang jauh lebih besar dibandingkan manusia dalam reboisasi. Itulah salah satu alasan kami berjuang untuk menjaga gajah tetap hidup," kata Lane.




(rns/afr)