Cuaca panas yang sedang melanda sebagian wilayah Indonesia kembali mengingatkan kita semua betapa Bumi menjadi semakin panas. Laju pemanasan global yang tak terkendali bisa menyebabkan deretan petaka yang menyengsarakan.
Batasan suhu pemanasan global 1,5 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri dipuji sebagai salah satu keberhasilan besar Perjanjian Paris tahun 2015.
Delapan tahun setelah Perjanjian Paris, satu-satunya perubahan yang tampak adalah parahnya krisis iklim dan sering terjadinya anomali cuaca. Perusahaan-perusahaan minyak mengumpulkan rekor keuntungan dan berencana memperluas produksi, emisi telah meningkat ke tingkat rekor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Didorong oleh El Niño, suhu global tahun ini lebih tinggi dibandingkan suhu sebelumnya dalam sejarah umat manusia dan berdampak buruk terhadap kematian manusia, kerusakan ekosistem, dan persediaan makanan.
Dalam 10 bulan pertama tahun 2023, pemanasan global sudah mencapai 1,4 derajat Celcius di atas tingkat pra-industri, dan kemungkinan segera mencapai 1,5 derajat Celcius dalam waktu dekat.
Badan sains terkemuka PBB, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), menguraikan semakin besarnya risiko bencana jika Bumi melampaui suhu 1,5 derajat Celcius. Negara-negara didesak untuk mengurangi emisi karbon hingga hampir setengahnya pada tahun 2030 agar ada peluang untuk mencegahnya.
"1,5 derajat Celcius lebih mematikan daripada benda tajam dan siapa pun yang memahami fisika pasti mengetahui hal itu," kata James Hansen, mantan ilmuwan iklim NASA, dikutip dari The Guardian.
"Menjaga suhu 1,5 derajat Celcius adalah prioritas utama," tegas presiden Cop28, Sultan Al Jaber awal tahun ini.
Masih banyak ilmuwan dan aktivis yang ingin terus memperjuangkan suhu 1,5C, meski banyak pula yang berpendapat sudah terlambat. Hal ini bukan hanya karena merupakan target politik yang berguna, namun karena ini merupakan pengingat bahwa kenaikan suhu sekecil apapun adalah persoalan hidup dan mati bagi manusia dan spesies lainnya yang tak terhitung jumlahnya.
Berikut adalah deretan petaka yang bisa terjadi jika cuaca panas terjadi secara terus menerus dan suhu Bumi melampaui 1,5 derajat Celcius.
1. Kerawanan pangan, air, dan terjadi konflik
Mereka yang paling terkena dampak suhu dan cuaca panas biasanya adalah pihak yang paling tidak bisa disalahkan, yaitu masyarakat rentan terhadap perubahan iklim yang tinggal di negara-negara dengan perekonomian miskin dan sistem layanan kesehatan yang lebih lemah.
"Tujuh puluh juta lebih orang di Afrika diperkirakan akan mengalami ketahanan pangan akut pada suhu 2 derajat Celcius dibandingkan jika suhu Bumi bisa diredam di 1,5 derajat Celcius," kata Catherine Nakalembe yang memimpin program NASA Harvest di Afrika.
Pada suhu yang lebih rendah, katanya, model komputer menunjukkan kemungkinan terjadinya kekeringan parah 30% lebih kecil dibandingkan suhu 2 derajat Celcius di Afrika bagian selatan.
Sementara di Afrika barat, hasil panen jagung dan sorgum bisa 40% hingga 50% lebih rendah pada suhu 2 derajat Celcius dibandingkan 1,5 derajat Celcius. Kelangkaan air juga akan berdampak pada 50% orang.
Dengan semakin besarnya kerawanan pangan, maka semakin besar pula risiko konflik dan insentif yang lebih besar untuk bermigrasi. Bahkan pada tingkat bencana yang terjadi saat ini, bencana terus terjadi di berbagai wilayah di benua ini, seperti kekeringan parah yang membawa kesengsaraan di sebagian besar Afrika timur pada tahun 2019, atau topan Idai yang menghancurkan Afrika bagian selatan pada tahun yang sama.
2. Hancurnya hutan Amazon dan keragaman hayati
Sebanyak 18% spesies serangga, 16% tumbuhan, dan 8% vertebrata diperkirakan akan kehilangan separuh habitatnya pada suhu 2 derajat Celcius, setidaknya dua kali lipat dibandingkan pada suhu 1,5 derajat Celcius.
Amazon dan hutan hujan tropis lainnya juga akan berkurang lebih cepat pada musim kemarau yang diperkirakan akan berlangsung sebulan lebih lama dengan suhu 2 derajat Celsius dibandingkan 1,5 derajat Celsius, dengan kemungkinan terjadinya panas ekstrem tiga kali lebih besar.
Hal ini meningkatkan kemungkinan hutan hujan akan mencapai titik kritis, yang kemudian akan mengering dan menjadi sabana yang tidak bisa menyerap karbon dan menghilangkan jalur transportasi air, dan fungsi pendinginan.
Selanjutnya: Laut merana hingga manusia tak bisa beradaptasi