Navigasi dan komunikasi kita tak terlepas dari teknologi antariksa. Sebagai bentuk pelayanan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menghadirkan sistem monitoring cuaca antariksa bernama SWIFtS.
Space Weather Information and Forecast Services (SWIFtS), merupakan sebuah sistem yang diciptakan BRIN untuk memberikan informasi dan prediksi cuaca antariksa terkini. Dalam hal ini, berarti terkait dinamika matahari, angin matahari, magnetosfer, dan ionosfer.
Menurut Fitri Nuraini, peneliti ahli muda pusat riset BRIN, dinamika ini penting untuk dianalisis, karena berkaitan erat dengan jaringan komunikasi kita yang berhubungan dengan satelit, begitu pula dengan navigasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau Gojek navigasinya kurang tepat, mungkin dampaknya tidak terlalu besar. Tapi kalau pesawat atau kapal yang terdampak, maka bisa bahaya banget," ujarnya dalam channel YouTube BRIN, Jumat (24/11/2023)
Fitri menjelaskan bahwa di saat fenomena antariksa yang ekstrem mempengaruhi densitas ionosfer, maka sinyal satelit yang sampai ke receiver bumi bisa mengalami gangguan. Efeknya, GPS kita bisa ngaco.
Cuaca antariksa yang ekstrem juga bisa menimbulkan arus induksi yang mengganggu sistem listrik. Manusia yang sedang beraktivitas di luar angkasa atau yang melakukan penerbangan di lintang tinggi, seperti kutub, mereka bisa terdampak oleh radiasi yang ada.
"Ini masih dalam penelitian, tapi ini bisa berdampak," ucapnya.
Monitoring cuaca antariksa di Indonesia sendiri sudah dimulai sejak sekitar tahun 2013 lalu, hanya saja masih berbentuk media cetak buletin yang mengabarkan informasi mingguan atau bulanan. Lalu tahun 2015, barulah dibuat versi situs webnya untuk menjangkau khalayak lebih luas dan laporannya bersifat harian.
Saat ini, BRIN telah menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara yang tergabung dalam International Space Environment Service (ISES). Di sini, SWIFtS ikut andil dalam memberikan informasi prediksi cuaca antariksa untuk nantinya disandingkan dengan informasi dari negara-negara yang masuk ke dalam ISES, seperti Australia, China, Jepang, Korea, dan masih banyak lagi.
Cara BRIN Melakukan Analisis Data Cuaca Antariksa
Saat ini, BRIN memanfaatkan model machine learning untuk membantu melakukan analisis data setelah sebelumnya menggunakan cara manual dengan teori. Datanya sendiri didapatkan dari luar maupun dalam BRIN.
"Ada dua macam data source base. Dari satelit yang berasal dari luar yang kita bisa gunakan seperti parameter angin matahari, peristiwa CME, flare, kita akses sumbernya. Ada juga data dari peralatan kita (BRIN) magnetometer yang terkait medan magnet dan ionosonde terkait ionosfer," ujar Fitri.
Sistem ini, secara keseluruhan, menganalisis cuaca di 24 jam terakhir dan memprediksi cuaca antariksa di 24 jam ke depan. Tapi Fitri mengakui bahwa untuk hal akurasi data, memang masih perlu ditingkatkan kembali.
"Masalah akurasi itu masih ada kelemahan, mungkin riset-riset kita itu masih pakai tools learning, seharusnya ada masukan fisis untuk meningkatkan akurasinya. Ke sini, kita punya platform untuk menganalisis dan prediksi. Ke depannya diharapkan bisa semakin meningkat," ujarnya.
Fitri berharap, ke depannya kesadaran antariksa oleh umum maupun khusus, seperti mahasiswa, bisa semakin meningkat. Dengan begitu, teknologi cuaca antariksa pun bisa ikut berkembang.
"Kita itu kan masih kurang kesadaran antariksanya, kesadaran bahwa ada potensi gangguan yang berasal dari antariksa. Kemudian (orang awam) pemahamannya baru yang astronomi-astronomi saja. Sebenarnya, di balik itu ada potensi bencana yang banyak orang belum tahu," kata Fitri.
Dengan hal ini, harapannya bahwa tingkat kesadaran dan pemahaman cuaca antariksa secara umum dan khusus semakin tinggi, sehingga makin banyak minat mahasiswa untuk penelitian antariksa.
*Artikel ini ditulis oleh Khalisha Fitri, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(rns/rns)