Isu terkait pemanasan global memang tidak ada habisnya. Sains telah dikerahkan dan perkembangan teknologi yang pesat masih menjadi pegangan.
Sampai saat ini, solar power atau tenaga surya menjadi acuan beberapa negara untuk menggantikan energi listrik dari batu bara, walau masih memiliki banyak kekurangan di sana sini.
Namun dalam penggunaannya, solar power memakan banyak lahan. Selain itu, karena sinar Matahari yang menjadi sumber energi yang berusaha diambil, cuaca dan waktu menjadi kelemahannya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misalnya, di malam hari dan saat musim dingin, solar power tidak memiliki cukup banyak sinar untuk diserap, sementara energi yang sudah tersimpan akan habis. Untuk itu, teknolgi ini masih terbatas dalam penggunaannya.
Peter Glaser, seorang ilmuwan sekaligus Gubernur Nasional Space Society, menciptakan sebuah konsep pengembangan solar power yang kemudian disebut sebagai Space Based Solar Power (SBSP) atau tenaga surya berbasis ruang angkasa.
Sesuai namanya, SBSP bekerja dengan 'memanen' atau mengumpulkan energi Matahari di ruang angkasa ke Bumi menggunakan transmisi daya nirkabel. Dengan begitu, ia akan terus mendapatkan sinar Matahari. Dengan kata lain, waktu malam dan musim dingin tidak akan menjadi masalah lagi.
Seperti dikutip dari Science Alert, gelombang pendek yang dikirimkan dari ruang angkasa akan dikirim dari satelit ke antena di Bumi, yang berfungsi mengubah gelombang elektromagnetik menjadi listrik.
Dengan menggunakan gelombang pendek, maka akan meminimalisasi gangguan di atmosfer, seperti langit mendung. Selain itu, stasiun yang hanya membutuhkan ruang berdiameter 5 kilometer tidak akan memakan terlalu banyak ruang seperti halnya sistem solar power.
Konsep ini terus dikembangkan, salah satunya yang dinamakan CASSIOPeiA. Konsep CASSIOPeiA memiliki reflektor dengan lebar 2 kilometer dan bisa dikemudikan. Daya pemancarnya juga hanya berdiameter 1.700 meter dengan masa satelit 2.000 ton.
Arsitektur lainnya dari pengembangan konsep ini, disebut SPS-ALPHA, memiliki pengumpul energi surya dengan struktur yang dibentuk dari heliostats, sebuah reflektor modular nan kecil dalam jumlah banyak. Setiap heliostats dapat digerakkan dan harganya murah karena diproduksi massal.
Di tahun 2023, seorang ilmuwan dari Caltech meluncurkan MAPLE, sebuah satelit eksperimen berskala kecil yang memancarkan energi dalam jumlah kecil ke Caltech. Alat ini berhasil membuktikan bahwa cara ini memang bisa digunakan untuk menyalurkan energi ke Bumi.
Teknologi yang berawal dari SBSP ini memang memiliki banyak kelebihan dan memunculkan optimisme tinggi. Lalu, kenapa teknologi ini belum juga digunakan?
SBSP adalah sebuah satelit raksasa yang tentunya memakan banyak biaya. Selain itu, peluncurannya juga mengundang risiko sehingga perlu ditinjau ulang.
Teknologi ini memang ditujukan sebagai alat yang ramah lingkungan bahkan di dalam proses produksinya. Namun, diketahui bahwa saat peluncuran, ia akan menghasilkan banyak polusi.
Selain itu, membutuhkan banyak bahan bakar untuk bisa mengontrol alat raksasa ini di ruang angkasa. Bahkan, bahan kimia beracun bisa ikut andil dalam prosesnya. Pancaran gelombang pendek akan terlalu kuat sehingga bisa merusak apapun yang disentuhnya.
Namun dengan semua yang sudah dijelaskan di atas, baik kelebihan maupun kekurangannya, SBSP tetap akan menjadi harapan bagi dunia untuk mencapai emisi nol bersih pada tahun 2050.
*Artikel ini ditulis oleh Khalisha Fitri, peserta Program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(rns/rns)