Sejumlah negara yang mengalami penurunan populasi merasa cemas negeri mereka bisa tumbang karena krisis jumlah penduduk. Di sisi lain, ada yang berpendapat bahwa penurunan populasi justru bisa membuat dunia lebih baik.
Meskipun populasi global melampaui delapan miliar pada akhir tahun 2022, Perserikatan Bangsa-Bangsa memperkirakan puluhan negara akan mengalami penurunan populasi. Diperkirakan populasi akan menyusut pada tahun 2050.
Dikutip dari Scientific American, Rabu (24/5/2023) sejumlah ahli melihat hal ini sebagai kabar baik. Menurut mereka, populasi yang menurun akan mengurangi tekanan dari delapan miliar orang di planet ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Ini Negara-negara yang Alami Krisis Populasi |
Stephanie Feldstein, Direktur untuk Population and Sustainability di Center for Biological Diversity menyebutkan bahwa ia telah melihat dampak buruk dari jejak manusia yang terus berkembang di ekosistem global.
"Jika Anda mendengarkan para ekonom, Anda mungkin percaya bahwa penurunan angka kelahiran berarti langit akan runtuh karena lebih sedikit bayi berarti lebih sedikit pekerja dan konsumen yang mendorong pertumbuhan ekonomi," ujarnya.
"Tapi ada lebih banyak cerita ketimbang hanya uang. Model pertumbuhan tanpa akhir dan keuntungan jangka pendek kita saat ini mengorbankan orang-orang yang rentan dan masa depan planet ini. Karenanya, penurunan populasi dapat membantu menciptakan masa depan dengan lebih banyak peluang dan dunia yang sehat dan kaya secara biologis," sebutnya.
Setiap orang di planet ini membutuhkan makanan, air, energi, dan tempat tinggal. Dan jika kita ingin meningkatkan pemerataan kekayaan dan kualitas hidup sebagaimana seharusnya, menurut Feldstein, tuntutan per orang akan meningkat, bahkan dengan skenario kasus terbaik untuk pembangunan berkelanjutan.
Ia memberikan contoh, ketika China tumbuh dalam populasi dan kekayaan, begitu pula tuntutannya terhadap planet ini. Jejak lingkungan per kapita China kurang dari setengah AS, tetapi total jejak lingkungan negara itu dua kali lebih besar, dengan negara bertanggung jawab atas seperempat deforestasi impor dan sepertiga emisi rumah kaca global.
"Mengurangi konsumsi di negara-negara berpenghasilan tinggi memang diperlukan, tetapi tidak cukup jika populasi global terus meningkat," jelasnya.
Karena populasi manusia berlipat ganda selama 50 tahun terakhir, populasi satwa liar anjlok rata-rata 69%. Manusia telah mengubah setidaknya 70% daratan Bumi. Beberapa laporan bahkan menyebutkan angkanya sampai 97%. Aktivitas manusia telah mengusir satwa liar dari habitat mereka dan menghancurkan ekosistem yang tak tergantikan.
"Hilangnya keanekaragaman hayati itu sendiri tragis. Dunia tanpa gajah, salamander hellbender, dan jutaan spesies lain yang terancam punah dalam beberapa dekade mendatang akan sangat miskin," kata Feldstein.
Menurutnya, tumbuhan dan hewan liar memperkaya hidup manusia dan menyatukan ekosistem vital. Air segar yang dibutuhkan untuk bertahan hidup, tumbuhan yang diandalkan untuk makanan dan obat-obatan, serta hutan yang manusia andalkan untuk udara bersih dan penyerapan karbon, semuanya merupakan produk interaksi kompleks antara bentuk kehidupan mulai dari mikroba dan penyerbuk hingga karnivora dan herbivora. Bahkan ketika saja hilang dari rangkaian itu, maka seluruh sistem akan rusak.
Sementara banyak yang menganggap penurunan populasi akan merugikan ekonomi, para peneliti menemukan bahwa tingkat kesuburan yang lebih rendah tidak hanya menghasilkan emisi yang lebih rendah pada tahun 2055, tetapi juga peningkatan pendapatan per kapita sebesar 10%.
Feldstein melanjutkan, tingkat kesuburan yang lebih rendah juga biasanya menandakan peningkatan kesetaraan gender. Wanita yang berpendidikan lebih baik cenderung memiliki lebih sedikit anak di kemudian hari. Ini memperlambat pertumbuhan populasi dan membantu mengurangi emisi karbon
"Dan ketika perempuan memegang peran kepemimpinan, mereka lebih mungkin daripada laki-laki untuk memajukan inisiatif melawan perubahan iklim dan melindungi alam. Hasil ini adalah efek samping dari kebijakan yang diperlukan terlepas dari dampaknya terhadap populasi," terang Feldstein.
Ia berpendapat, jika populasi menurun, beberapa tempat harus beradaptasi dengan populasi yang menua. Jika kita memilih penurunan yang disengaja sebagai akibat dari upaya peningkatan kesejahteraan, maka kita dapat menghilangkan ketakutan terhadap keluarga berencana dan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi manusia dan planet ini.
"Kita harus memilih. Kita dapat membiarkan ekonomi berbasis pertumbuhan menentukan nasib planet kita, atau kita dapat berhenti berpura-pura bahwa demografi dan ekologi adalah dua masalah yang terpisah," tegasnya.
(rns/fay)