Orang dengan 3 Kriteria Ini Bisa Jadi Korban Dukun Palsu
Hide Ads

Orang dengan 3 Kriteria Ini Bisa Jadi Korban Dukun Palsu

Aisyah Kamaliah - detikInet
Kamis, 06 Apr 2023 20:40 WIB
Pembunuhan berantai di Banjarnegara menewaskan 12 orang. Aksi keji itu dilakukan oleh Slamet Tohari atau Mbah Slamet (berbaju biru) yang mengaku sebagai dukun pengganda uang.
Orang dengan tiga kriteria ini bisa menjadi calon korban dukun palsu, menurut sosiolog. Jangan sampai kamu terperdaya! Foto: Uje Hartono/detikJateng
Jakarta -

Korban dukun sudah banyak di masyarakat, namun janji palsu yang ditawarkan selalu bisa menarik orang-orang baru. Dalam perbincangan detikINET bersama Sosiolog Universitas Nasional (Unas) Sigit Rochadi, dijelaskan bahwa dukun tidak sembarangan dalam memilih korban.

Dukun biasanya mencari orang yang memiliki tiga kriteria ini agar bujuk rayunya berhasil. Apa saja yang biasa dicari dukun dari diri korban-korbannya?

1. Mudah putus asa

"Ilmu dukun memperdaya orang-orang yang tidak menghargai proses, dia memilih orangnya. Orang yang jadi sasaran tidak sembarangan," kata Sigit.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Biasanya orang yang mudah putus asa, bukan pekerja keras, tidak berpikir secara logis, ini yang menjadi sasaran. Kalau ada korban yang membantah dan berpikir secara logis, biasanya tidak dijadikan korban," lanjutnya.

2. Mencari jalan pintas

Kriteria kedua adalah orang yang memilih jalan pintas dalam meraih kekayaan. Contohnya bisa dilihat dari kriteria orang-orang di masa lalu yang ingin cepat kaya. Biasanya mereka terjebak janji kekayaan palsu dengan membayar sejumlah uang tunai ke dukun untuk 'memelihara' tuyul, babi ngepet dan sejenisnya. Nah, di era modern, muncul bentuk kepercayaan baru yakni penggandaan uang.

ADVERTISEMENT

"Kalau orang berpikir logis kan nggak mungkin karena setiap nomor uang ada serinya, nggak mungkin kalau double, itu pasti uang palsu," ujarnya.

3. Ingin dapat gelar sultan

Sigit menjelaskan adanya transformasi dari zaman ke zaman, mulai agraris ke industri hingga industri ke post-industri. Ini ditandai dengan konsumsi barang-barang mewah.

Pada tahun 70-an yang masih agraris, memiliki sepeda motor sudah dianggap mewah. Masuk ke era 80-90an, sepeda motor sudah dianggap barang biasa dan masyarakat mulai melirik mobil. Masuk ke masa post-industri, mobil menjadi hal biasa dan lebih memperhatikan merk yang melekat di tubuh.

"Hp-nya apa, Pad-nya merek apa, pakaiannya merek apa. Pola berpikir itu membangun budaya materialistik. Kesuksesan dimaknai secara material," jabar Sigit.

"Orang yang berhasil, akhirnya mendapat liputan dan gelar khusus. Dulu dinamakan konglomerat, tajir, uang tidak berseri, sekarang disebut sultan. Predikat ini yang diincar kebanyakan orang untuk memperoleh pengakuan status sosialnya, sehingga muncul pemikiran yang tidak logis," tandasnya.




(ask/ask)