Durasi berpuasa di tiap negara berbeda-beda, ada yang bisa mencapai 20 jam dan ada yang cenderung stabil seperti Indonesia dengan durasi 13 jam. Apa penyebabnya?
Pakar astronomi dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang Hasanuddin menjelaskan dalam 'Eureka! Edisi 15: Puasa Ekuinoks', Senin (3/4/2023). Pertama-tama, perlu dipahami bahwa durasi puasa dihitung dari terbitnya fajar hingga terbenamnya Matahari. Ini berkaitan dengan posisi Matahari yang mana di setiap lintang geografis itu berbeda-beda.
"Misalkan untuk di belahan Bumi utara, untuk musim semi dan musim panas maka panjang siangnya akan lebih panjang karena belahan Bumi utara lebih condong ke Matahari. Sebaliknya, Bumi selatan karena menjauhi Matahari maka durasi puasanya lebih pendek," jabarnya.
Nah, saat terjadi musim gugur atau musim dingin di belahan Bumi utara, saat itulah belahan Bumi utara menjauhi Matahari. Dengan demikian, panjang siang menjadi lebih pendek dan durasi puasanya menjadi lebih pendek.
"Sebaliknya, di belahan Bumi bagian selatan, di waktu yang sama, saat belahan selatan itu mulai dekat ke Matahari, maka durasi siangnya akan lebih panjang dan durasi puasanya otomatis menjadi lebih panjang," lanjut Andi.
Namun, untuk wilayah di khatulistiwa, durasi puasa relatif stabil di antara 13-14 jam. Contohnya Indonesia yang dilalui 6° Lintang Utara (LU) sampai 11° Lintang Selatan (LS), ini membuat variasinya menjadi tidak begitu seekstrem wilayah yang ada di lintang sedang ataupun lintang tinggi.
Jadi, itulah yang menyebabkan durasi puasa di tiap negara tidaklah sama, detikers. Semoga bisa menjawab rasa penasaranmu, ya.
Simak Video "Kecubung Bikin Linglung"
(ask/fay)