Badai Api Pernah Menyapu Bumi, Dampaknya Menyeramkan
Hide Ads

Badai Api Pernah Menyapu Bumi, Dampaknya Menyeramkan

Rachmatunnisa - detikInet
Selasa, 08 Feb 2022 19:30 WIB
In this long exposure photograph, trees smolder and burn during the Dixie fire near Greenville, California on August 3, 2021. - The Dixie fire has burned more than 250,000 acres and continues to get closer to residential communities. The 2017 Thomas Fire is now only the seventh worst by area destroyed -- and is likely to be overtaken soon by the Dixie Fire raging through the states northern forests, as climate change makes wildfire season longer, hotter and more devastating. (Photo by JOSH EDELSON / AFP)
Foto: AFP/JOSH EDELSON
Jakarta -

Pada suatu titik sekitar 12.800 tahun yang lalu, sepersepuluh permukaan Bumi tiba-tiba diselimuti api yang menderu. Badai api itu menyaingi badai yang memusnahkan dinosaurus.

Kemungkinan besar, badai tersebut disebabkan oleh pecahan komet yang berukuran sekitar 100 kilometer. Saat awan debu menutupi Bumi, peristiwa ini memulai zaman es mini yang membuat planet ini tetap dingin selama seribu tahun lagi, seperti ketika Bumi muncul dari masa 100.000 tahun yang tertutup gletser. Setelah api padam, kehidupan pun dimulai lagi.

"Hipotesisnya adalah komet besar terfragmentasi dan bongkahannya berdampak pada Bumi, menyebabkan bencana ini," kata Adrian Melott dari University of Kansas, yang ikut menulis studi tahun 2018 yang merinci peristiwa bencana ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sejumlah tanda kimia yang berbeda, karbon dioksida, nitrat, amonia dan lain-lain, semua tampaknya menunjukkan bahwa 10% dari permukaan Bumi, atau sekitar 10 juta kilometer persegi, habis terbakar," ujarnya seperti dikutip dari Science Alert.

Untuk mengintip kembali ke dalam api yang membakar dan gelombang kejut dari peristiwa besar ini, sejumlah besar penanda geokimia dan isotop diukur dari lebih dari 170 situs di seluruh dunia, yang melibatkan tim yang terdiri dari 24 ilmuwan.

ADVERTISEMENT

Salah satu bagian dari analisis yang dilakukan adalah pada pola tingkat serbuk sari, yang menunjukkan bahwa hutan pinus tiba-tiba terbakar untuk digantikan oleh pohon poplar, spesies yang mengkhususkan diri menutupi tanah tandus. Peristiwa ini seperti yang mungkin terjadi ketika planet terkena serangkaian bola api besar.

Faktanya, bagian-bagian komet yang hancur di luar angkasa kemungkinan masih akan mengambang di sekitar Tata Surya kita 13.000 tahun kemudian.

Konsentrasi tinggi platinum, yang sering ditemukan di asteroid dan komet, dan tingkat debu yang tinggi juga dicatat dalam sampel yang dianalisis oleh para peneliti, di samping peningkatan konsentrasi aerosol pembakaran. Kita akan bisa melihat apakah banyak biomassa yang terbakar yaitu amonium, nitrat, dan lain-lain.

Ketika tanaman mati, sumber makanan akan langka, dan gletser yang sebelumnya mundur mulai bergerak lagi, demikian catatan tim peneliti. Budaya manusia harus beradaptasi dengan kondisi yang lebih keras, dengan populasi menurun sebagai hasilnya.

"Perhitungan menunjukkan bahwa dampaknya akan menipiskan lapisan ozon, menyebabkan peningkatan kanker kulit dan efek kesehatan negatif lainnya," kata Melott.

Tim tersebut berhipotesis bahwa dampak yang begitu luas dari fragmen komet, dan badai api berikutnya, bertanggung jawab atas sedikit pendinginan ekstra yang dikenal sebagai periode Dryas Muda. Perubahan suhu planet yang relatif singkat ini terkadang disebabkan oleh perubahan arus laut.

Namun, tabrakan komet bukanlah pendapat yang benar-benar baru, meskipun penelitian terbaru ini sangat mendalam untuk mencoba dan menemukan buktinya. Para ilmuwan telah memperdebatkan apakah dampak komet memicu peristiwa Younger Dryas selama beberapa tahun sekarang.

Tidak semua orang setuju bahwa data tersebut menunjukkan serangan komet, tetapi karya komprehensif ini menawarkan lebih banyak dukungan untuk hipotesis tersebut, seperti halnya ukiran kuno yang ditemukan di Turki pada tahun 2017. Ukiran ini menggambarkan dampak dahsyat dari objek antarbintang.

"Hipotesis dampak masih merupakan hipotesis, tetapi penelitian ini memberikan sejumlah besar bukti, yang menurut kami hanya dapat dijelaskan oleh dampak kosmik yang besar," kata Melott.




(rns/rns)