Para ilmuwan berjuang keras untuk bisa memantau gunung berapi bawah laut Hunga Tonga-Hunga Ha'apai yang meletus akhir pekan lalu. Ledakan gunung menghancurkan kawah permukaan laut dan menenggelamkan massanya, sehingga menutupinya dari pandangan satelit.
Sebelumnya dilaporkan, letusan gunung berapi yang terletak di Cincin Api Pasifik yang aktif secara seismik ini mengirimkan gelombang tsunami melintasi Samudra Pasifik dan terdengar sekitar 2.300 km jauhnya di Selandia Baru.
"Kekhawatiran saat ini adalah betapa sedikit informasi yang kita miliki dan itu menakutkan. Ibarat ketika ventilasi berada di bawah air, tidak ada yang bisa memberi tahu kita apa yang akan terjadi selanjutnya," kata Janine Krippner, ahli vulkanologi yang berbasis di Selandia Baru dengan Program Vulkanisme Global Smithsonian, dikutip dari Reuters.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Krippner mengatakan instrumen pengamatan yang berada dekat lokasi kemungkinan hancur terdampak letusan dan komunitas vulkanologi mengumpulkan data dan keahlian terbaik yang mereka punya untuk meninjau ledakan dan memprediksi aktivitas berikutnya untuk antisipasi.
Letusan pada Sabtu (15/1) begitu kuat sehingga satelit luar angkasa tak hanya menangkap awan abu yang sangat besar tetapi juga gelombang kejut atmosfer yang memancar keluar dari gunung berapi dengan kecepatan mendekati kecepatan suara.
Foto-foto dan video yang merekam peristiwa tersebut menunjukkan awan abu abu mengepul di atas Pasifik Selatan dan gelombang setinggi satu meter melonjak ke pantai Tonga.
Belum ada laporan resmi mengenai cedera atau kematian di Tonga, namun saat ini komunikasi internet dan telepon sangat terbatas dan daerah pesisir yang terpencil terputus.
Para ahli mengatakan gunung berapi yang terakhir kali meletus pada tahun 2014 ini, tampak ngos-ngosan selama sekitar satu bulan sebelum naiknya magma. Suhunya menjadi sangat panas hingga sekitar 1.000 derajat Celcius. Ketika magma bertemu dengan air laut seketika terjadilah ledakan berskala besar.
"Kecepatan dan kekuatan letusan 'menakjubkan' yang tidak biasa menunjukkan kekuatan yang lebih besar daripada sekadar magma yang bertemu air," kata para ilmuwan.
Magma yang sangat panas naik dengan cepat dan bertemu dengan air laut yang dingin, begitu pula sejumlah besar gas vulkanik. Proses ini mengintensifkan ledakan.
Beberapa ahli vulkanologi menyamakan letusan tersebut dengan letusan Pinatubo 1991 di Filipina, letusan gunung berapi terbesar kedua abad ke-20, yang menewaskan sekitar 800 orang.
Badan Layanan Geologi Tonga, yang memantau gunung berapi, belum dapat dijangkau. Sebagian besar komunikasi ke Tonga telah terputus setelah kabel komunikasi bawah laut utama kehilangan daya.
Ahli meteorologi Amerika Chris Vagasky, mempelajari petir di sekitar gunung berapi dan menemukan bahwa intensitasnya meningkat menjadi sekitar 30.000 sambaran pada hari-hari menjelang letusan. Pada hari letusan, ia mendeteksi 400 ribu peristiwa kilat hanya dalam tiga jam, yang turun menjadi 100 peristiwa kilat per detik.
Dia membandingkannya dengan 8.000 serangan per jam selama letusan Anak Krakatau pada tahun 2018, yang menyebabkan sebagian dari kawah runtuh ke Selat Sunda dan mengirim tsunami yang menerjang ke Jawa bagian barat, yang menewaskan ratusan orang.
Vagasky mengatakan sulit untuk memprediksi aktivitas lanjutan, dan ventilasi gunung berapi dapat terus melepaskan gas dan material lainnya selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan.
"Ini sesuatu yang tidak biasa untuk menyaksikan beberapa letusan lagi, meskipun mungkin tidak sebesar letusan Sabtu (15/1). Begitu gunung berapi hilang gasnya, barulah gunung akan tenang," jelasnya.
(rns/afr)