Thailand jadi salah satu negara yang memutuskan untuk mencampur vaksin virus Corona berbeda merek. Mengombinasikan Sinovac dengan AstraZeneca, studi di Thailand mengklaim campuran ini ampuh melawan virus Corona varian Delta.
Kebijakan mencampur vaksin muncul setelah ratusan tenaga kesehatan dan tenaga medis masih terinfeksi COVID-19 meski sudah diberi dua dosis vaksin Sinovac. Melalui pencampuran tersebut, peserta vaksinasi mendapatkan Sinovac sebagai suntikan pertama dan AstraZeneca sebagai suntikan kedua.
Tenaga kesehatan yang sudah divaksinasi dua kali dengan Sinovac juga akan menerima dosis ketiga sebagai booster. Dosis ketiga ini bisa berupa vaksin AstraZeneca atau vaksin berbasis mRNA seperti Pfizer-BioNTech. Dosis ketiga ini diberikan tiga sampai empat pekan setelah mendapat suntikan kedua vaksin Sinovac.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikutip dari Pattaya Mail, Department of Medical Sciences (DMS) Thailand melaporkan bahwa mengkombinasikan vaksin Sinovac dan AstraZeneca sangat mujarab menangani varian Delta COVID-19.
Mengutip hasil tes lab dari sebuah penelitian yang dilakukan bersama dengan Rumah Sakit Siriraj, Direktur Jenderal DMS Dr. Supakit Sirilak mengatakan, kombinasi Sinovac dan AstraZeneca adalah yang terbaik dalam keadaan saat ini demi mempercepat kekebalan kawanan (herd immunity).
"Sampel darah dari 125 peserta, berusia 18-60, yang menerima suntikan Sinovac dan kemudian suntikan AstraZeneca menunjukkan tingkat kekebalan kuantitatif rata-rata 716, dibandingkan dengan 117 di antara mereka yang menerima Sinovac penuh dan 207 orang, untuk dua suntikan AstraZeneca," ujarnya.
Dr. Supakit mengatakan, uji laboratorium membuktikan bahwa menggabungkan Sinovac dan AstraZeneca adalah keputusan tepat. Namun, tes tersebut belum menjawab pertanyaan tentang durasi kemanjuran, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan kapan kita harus mendapatkan dosis booster.
Mencampur Vaksin Tak Boleh Diputuskan Sendiri
Perlu diketahui, praktik mengombinasikan vaksin virus Corona berbeda merek dalam pelaksanaan vaksinasi COVID-19 bagi masyarakat tidak dapat diputuskan oleh individu, melainkan oleh badan-badan publik dengan bergantung pada data yang ada. Peringatan ini disampaikan badan kesehatan dunia WHO Juli lalu.
"Meski praktik kombinasi ini mungkin menarik bagi masyarakat di negara-negara yang mengalami kekurangan pasokan vaksin, diperlukan lebih banyak penelitian untuk memastikan imunogenisitas dan keamanannya," ujar juru bicara WHO Soumya Swaminathan, Kepala Ilmuwan WHO dalam konferensi pers rutin yang diadakan oleh PBB di Jenewa.
"Data dari studi kombinasi vaksin yang berbeda tengah ditunggu. Imunogenisitas dan keamanannya perlu dievaluasi," kata Swaminathan sebagaimana dikutip dari Xinhua, Senin (23/8/2021).
Menurut informasi yang diberikan oleh juru bicara tersebut dalam konferensi pers, sebuah uji klinis yang dipimpin Oxford University di Inggris saat ini juga sedang dilakukan untuk menyelidiki kombinasi resimen vaksin AstraZeneca dan vaksin Pfizer-BioNTech.
Uji coba tersebut baru-baru ini diperluas dengan melibatkan vaksin Moderna dan Novavax. Lebih lanjut, juru bicara WHO itu mengatakan, temuan awal dari uji coba tersebut menunjukkan, orang-orang yang menerima vaksin AstraZeneca untuk dosis pertama dan vaksin Pfizer-BioNTech untuk dosis kedua memiliki kemungkinan lebih besar mengalami demam dan efek samping ringan lainnya, dibandingkan jika mereka menerima dua dosis vaksin AstraZeneca.
(rns/fay)