China, AS, Rusia Berlomba Bikin Matahari Buatan
Hide Ads

China, AS, Rusia Berlomba Bikin Matahari Buatan

Rachmatunnisa - detikInet
Jumat, 11 Jun 2021 22:05 WIB
Matahari buatan China
Eksperimental Advanced Superconducting Tokamak (EAST), Matahari buatan China yang cetak rekor suhu tertinggi. Foto: Dok. Xinhua/Zhang Chaoqun
Jakarta -

Dari Matahari buatan hingga energi tanpa batas, Amerika Serikat (AS), China, dan Rusia bersaing menciptakan fusi nuklir seperti Matahari. Teknologi ini menjanjikan dunia yang lebih baik, namun bagi sebagian orang dianggap bisa membahayakan.

Di jantung Matahari kita, terdapat "tungku" nuklir yang bekerja tanpa henti, di mana panas yang tak tertandingi dan gaya gravitasi yang disebabkan oleh massanya yang luar biasa memberikan tekanan hebat pada intinya.

Tekanan ini menggabungkan dua isotop hidrogen bersama-sama. Reaksi tersebut mengeluarkan sejumlah besar energi dalam bentuk cahaya dan panas yang menjadi dua komponen penting bagi kehidupan di Bumi, sambil melepaskan helium sebagai produk sampingannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dikutip dari TRT World, cara kerja fusi seperti ini coba diwujudkan manusia dengan menciptakan tokamak, sebuah ruangan berbentuk seperti donat dengan cincin magnet raksasa untuk menahan plasma super panas dan memutar partikel bermuatan sehingga mereka menyatu pada suhu yang sangat tinggi.

Terobosan yang disebut sebagai Matahari buatan ini menjanjikan alternatif energi bersih untuk menghilangkan ketergantungan pada energi bahan bakar fosil.

ADVERTISEMENT

Persaingan memanas

Masing-masing negara sedang mengembangkan reaktor fusi masing-masing secara masif walau sempat mengalami masa stagnasi. Negara-negara di Amerika dan Eropa adalah yang pertama kali mengembangkan reaktor fusi nuklir di tahun 70an - 80an.

Reaktor fusi pertama kali diwujudkan di Rusia saat masih menjadi Uni Soviet pada tahun 1950. Reaktor fusi ini dinamai reaktor Tokamak yang merupakan singkatan dari Toroidal'naya kameras magnitnymi katushkamiyang. Artinya, lebih kurang ruang toroidal dengan koil magnetik.

Pengembangan reaktor fusi nuklir mengalami stagnasi sejak dekade 1990-an. Rata-rata tidak sanggup karena memakan biaya besar untuk mengejar pencapaian ilmiah yang ambisius tersebut.

Belakangan, muncul Jepang, lalu Korea Selatan, hingga China ikut berlomba mewujudkan Matahari buatan. Persaingan ini memanas dibandingkan sebelumnya, terutama di antara Amerika Serikat, China dan Rusia.

Bagi beberapa negara, teknologi ini berkaitan dengan masalah keamanan nasional, sehingga teknologi fusi dirahasiakan dan dijaga ketat. Tim dari AS yang dipimpin oleh Commonwealth Fusion Systems, berencana untuk menunjukkan "perolehan energi bersih" pada tahun 2025 menggunakan teknologi ini.

Sedangkan China, saat ini sedang menjadi sorotan dunia karena berhasil membuat Matahari buatan Eksperimental Advanced Superconducting Tokamak (EAST) berhasil mencapai suhu 160 juta derajat celcius selama 20 detik.

NASA baru-baru ini mengumumkan keberhasilan relatifnya dalam memproduksi fusi dalam skala mini, yang bertujuan untuk digunakan dalam perjalanan luar angkasa, dan sejumlah perusahaan seperti Princeton Satellite Systems, Helicity Space, dan Pulsar Fusion pun tak mau ketinggalan menggunakan fusi untuk menghasilkan bentuk propulsi baru.

Saat perlombaan global untuk mewujudkan fusi mendekati garis akhir, kepentingan perusahaan mulai memberikan perhatian serius pada prospeknya. Untuk generasi kita, fusi nuklir sia memperkenalkan babak baru dalam pencarian energi untuk umat manusia.




(rns/rns)