Analisis Ini Sebut Lockdown Tak Berpengaruh Besar Atasi COVID-19
Hide Ads

Analisis Ini Sebut Lockdown Tak Berpengaruh Besar Atasi COVID-19

Aisyah Kamaliah - detikInet
Minggu, 24 Jan 2021 20:24 WIB
Bertambahnya kasus infeksi ditambah munculnya varian baru Corona membuat beberapa negara kembali memberlakukan kebijakan lockdown.
Ilustrasi suasana sepi karena lockdown. Foto: Sam Tarling/Getty Images
Jakarta -

Lockdown di awal pandemi kerap digencarkan sebagai langkah untuk pencegahan penularan COVID-19. Namun analisis berikut ini mengungkapkan bahwa lockdown tidak berpengaruh besar.

Analisis yang dilakukan oleh Frans Rautenbach yang merupakan ahli hukum di Cape Town Bar dan penulis 'South Africa can work' menjabarkan pendapatnya. Berdasarkan indeks dari Our World in Data, ia membaca tidak ada korelasi antara keketatan pemerintah seperti lockdown dengan angka kematian akibat COVID-19.

Data dari Our World in Data.Data dari Our World in Data. Foto: Our World in Data

"Secara kontras, korelasi ada pada arah yang berlawanan. Lockdown yang lebih ringan diasosiasikan dengan total kematian yang rendah," tulisnya sebagaimana dikutip dari News 24.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun perlu dicatat, korelasi ini tidak bisa dinyatakan sebagai bukti penyebab. Ada beberapa hal yang bisa memengaruhi langkah yang dilakukan pemerintah terhadap angka kasus COVID-19.

Menurut Rautenbach, standar keketatan lockdown menjadi tidak begitu penting dibandingkan waktu penerapan keketatan dijalankan. Sebagai contoh Selandia Baru, negara ini dianggap pandai dalam menentukan waktu lockdown ketat dan mengubahnya juga menjadi lebih rileks di waktu yang pas pula. Angka kematian di sana pun terbilang rendah.

ADVERTISEMENT

Bukan karena faktor lain ini juga

Selain faktor lockdown di waktu yang tepat dan tidak terlalu ketat mengikat, Rautenbach mengatakan iklim dan kesamaan ras tidak memberi pengaruh pada penyebaran COVID-19 di suatu negara.

Ia menyebut enam negara dengan angka dengan pendekatan 'liberal' yakni Tanzania, Jepang Belarus, Burundi, Macau, dan Taiwan yang menunjukkan angka kematian yang lebih rendah dibandingkan negara lain.

"50:50 terbagi menjadi negara yang beragam (Tanzania, Burundi dan Belarus) dan negara homogen (Jepang, Taiwan, Macau) jadi homogenitas bukan alasan untuk kematian yang rendah di sini," ucapnya.

Begitu juga iklim, Tanzania, Burundi dan Taiwan diketahui punya iklim yang panas. Sementara itu, Jepang dan Belarus sangat dingin.

"Bukan juga kepadatan populasi yang rendah. Jepang, Taiwan, dan Macau punya area urban yang padat namun tidak terlihat butuh lockdown ketat," sambungnya.

Setidaknya, ada tiga hal yang ia tekankan dari analisis pribadinya:

- Lockdown menciptakan banyak kejadian mini 'super spreader' karena membuat orang berkumpul secara indoor

- Kebijakan yang lebih longgar memperlihatkan adanya herd immunity yang lebih cepat

- Populasi dengan lockdown yang lebih longgar lebih merasa bertanggung jawab dengan kesehatan diri sendiri.




(ask/rns)