Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), wilayah Indonesia mengalami musim kemarau panjang di tahun 2019. Kondisi ini mengakibatkan kekeringan yang berdampak pada ketersediaan air bersih, kebakaran hutan dan lahan, serta suhu panas.
"Kondisi iklim di Indonesia sangat dikontrol oleh kondisi suhu muka air laut di Samudera Hindia sebelah Barat - Barat Daya Pulau Sumatera dan di Samudera Pasifik, serta di perairan laut Indonesia," tulis Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati, di situs resmi BMKG.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena yang saat ini sedang terjadi karena rendahnya suhu permukaan laut daripada suhu normalnya yang berkisar antara 26 - 27 derajat celcius di wilayah perairan Indonesia bagian selatan dan barat, sehingga berimplikasi pada kurangnya pembentukan awan di wilayah Indonesia.
Dengan adanya fenomena tersebut, mengakibatkan awal musim hujan periode 2019/2020 mengalami kemunduran, dan sebagian besar wilayah Indonesia mulai memasuki musim hujan pada bulan November, kecuali untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan yang dimulai sejak pertengahan Oktober 2019.
Berdasarkan hasil monitoring dan analisa dinamika atmosfer, BMKG memprediksi bahwa pada tahun 2020 tidak terindikasi akan terjadi El- Nino kuat. NOAA dan NASA (Amerika) serta JAMSTEC (Jepang) pun memprediksi hasil yang serupa.
(ke halaman selanjutnya)
Prediksi Musim Hujan dan Kemarau 2020, Apa Ada Anomali?
Foto: Jabbar Ramdhani/detikcom
|
Sedangkan wilayah di dekat ekuator, seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Riau, musim kemarau pertama akan dimulai pada Februari - Maret 2020, sehingga tetap perlu diwaspadai untuk potensi kondisi kering, yang dapat berdampak karhutla di awal tahun pada wilayah dekat ekuator tersebut.
Musim Hujan dan Kemarau 2020 Normal
BMKG memaparkan, periode Musim Hujan (November 2019 - Maret 2020) masih sesuai dengan normalnya (klimatologi 1981-2010), namun dapat lebih basah dibandingkan tahun 2019, khususnya Sumatera dan Kalimantan bagian utara. Puncak Musim Hujan diprediksikan pada Januari-Februari 2020.
Demikian halnya awal musim kemarau diprakirakan mirip dengan normalnya, yaitu sekitar April - Mei 2020, dan berlangsung hingga Oktober.
Peluang terjadinya bencana hidrometeorologis (siklon tropis, hujan ekstrem, puting beliung, angin kencang, gelombang ekstrem, dan kekeringan iklim) tetap perlu diwaspadai meskipun diprediksi berkurang jumlah kejadian maupun kekuatannya pada kondisi iklim yang normal.
Pemenuhan dan penyimpanan cadangan air pada waduk, embung, kolam retensi, sistim polder dapat dilakukan lebih dini saat puncak musim hujan hingga peralihan musim, sehingga optimal untuk keperluan mendesak penanganan kebakaran hutan dan lahan serta kebutuhan pertanian.
(ke halaman selanjutnya)
Prediksi Musim Hujan dan Kemarau 2020, Apa Ada Anomali?
Foto: Uje Hartono
|
"Pemenuhan dan penyimpanan cadangan air pada waduk-waduk, embung-embung, kolam retensi, sistim polder dapat dilakukan lebih dini pada saat puncak musim hujan hingga peralihan musim, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal untuk keperluan mendesak penanganan kebakaran hutan dan lahan serta kebutuhan pertanian," tambah mereka.
Kesimpulan dan Rekomendasi BMKG
Musim hujan 2019/2020 sebentar lagi dimulai sesuai perkiraan BMKG. Saat ini sebagian daerah telah mulai masa peralihan musim kemarau ke hujan bahkan beberapa daerah (sebanyak 15%) yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumbar, Palembang, Riau, Kaltim, sebagian Sulawesi dan sebagian Papua bagian Barat sudah memasuki musim hujan.
Di masa peralihan atau pancaroba, kondisi cuaca biasanya ditandai perubahan arah angin dan peningkatan kecepatan. Kondisi seperti ini sering menimbulkan cuaca ekstrim seperti angin kencang dan puting beliung. Hal ini perlu diwaspadai. Hujan dapat turun sesaat namun pada sektor pertanian tetap memperhatikan prakiraan yang dikeluarkan BMKG saat akan memulai musim tanam.
Untuk prospek musim kemarau 2020, hasil prediksi menunjukkan prospek curah hujan yang cenderung normal sesuai klimatologisnya dan kecil peluang terjadi gangguan anomali iklim global.
"Kiranya pemenuhan dan penyimpanan cadangan air pada waduk-waduk, embung-embung, kolom retensi, dan sistem polder dapat dilakukan lebih dini pada saat puncak musim hujan hingga peralihan musim, sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal untuk keperluan mendesak penanganan kebakaran hutan dan lahan serta kebutuhan pertanian," pungkas Dwikorita.