Klausula Baku
Berdasarkan UU Perlindungan Konsumen, Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Klausula Baku diperbolehkan asalkan tidak menyatakan: pengalihan tanggung jawab; penolakan penyerahan kembali barang yang dibeli; penolakan penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli; pemberian kuasa kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran; pengaturan perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa;
Selain itu, Klausula Baku juga dilarang menyebutkan: hak pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; kuasa pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Apakah aturan Klausula Baku di UU Perlindungan Konsumen ini cukup memadai di era ekonomi digital? Berdasarkan diskusi kelas Diklat Hukum di Industri TI yang diselenggarakan Advosmart dan Jimly School of Law and Government, aturan itu tidak cukup. Terlebih lagi ketika membahas RUU Perlindungan Data Pribadi yang draftnya telah beredar (salah satunya bisa diakses di sini), Klausula Baku ini sama sekali tidak disinggung di dalamnya padahal banyak kasus pelanggaran data pribadi telah bermunculan.
Kasus Pelanggaran Data Pribadi
Pinjaman online menjadi perhatian luar biasa dalam sebulan ini dimana jika dipantau menggunakan mesin Drone Emprit Academic - UII, hanya 2% dari lebih kurang 3500 mention twitter warganet bersentimen positif. Dalam beberapa kasus, penasehat hukum korban tidak dapat membatalkan perjanjian karena pada dasarnya korban telah secara sah dan sadar menyetujui Klausula Baku meskipun (mungkin) tidak menyadari luasnya risiko yang dihadapi.
Secara hukum, telah terjadi perikatan antara kedua belah pihak sesuai asas konsesualisme, walaupun secara bisnis modus yang dilakukan oleh pihak pinjol untuk menarik kembali dananya dengan menggunakan data pribadi pengutang, dianggap tidak beretika. Yang akhirnya bisa dilakukan oleh penasehat hukum adalah menggunakan pasal pencemaran nama baik untuk membela kliennya.
Belum lagi begitu banyak anak dan remaja yang belum cukup umur yang aktif di dunia digital sebagai tren milenial, yang dianggap belum cakap membuat perjanjian. Sesuai beberapa UU, yang diperbolehkan oleh hukum untuk membuat perjanjian adalah yang telah berumur 18 tahun (atau pernah menikah) dan tidak sedang di bawah pengampuan. Peranan orang tua selaku pengampu harusnya diatur dalam Klausula Baku yang berkaitan dengan layanan kepada anak dan remaja.
Selain ketentuan yang diatur pada UU Perlindungan Konsumen di atas, Klausula Baku aplikasi digital juga hendaknya memasukkan ketentuan perlindungan data pribadi yang berhubungan dengan hak-hak pemilik data, pemrosesan data, kewajiban sebagai pengendali atau pemroses data, ketentuan transfer data, pengecualian, serta penyelesaian sengketa di Indonesia. Sebagai tambahan, ketika tulisan ini dibuat satu dari empat unicorn ternyata memilih penyelesaian sengketa tidak berdasarkan hukum Indonesia.
Berdasarkan pengamatan sekilas, klausula tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha masih saja ada. Hanya satu dari empat unicorn yang menyatakan akan memberikan notifikasi kepada pengguna apabila terdapat perubahan Klausula Baku, sementara lainnya memaksa pengguna untuk menyetujui apapun perubahan yang mungkin dilakukan tanpa pemberitahuan.
Tugas Pemerintah
Bagaimana perlindungan konsumen terhadap Klausula Baku di industri finansial? Surat edaran Otoritas Jasa Keuangan No.12/SE.OJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku mewajibkan penggunaan huruf, tulisan, simbol, diagram, tanda, istilah, frasa yang dapat dibaca, maupun kalimat yang sederhana dalam Bahasa Indonesia yang mudah dimengerti konsumen. Apabila konsumen menemukan ketidakjelasan, pelaku usaha jasa keuangan pun wajib memberikan penjelasan, baik secara tertulis maupun secara lisan sebelum perjanjian baku ditandatangani.
Namun demikian, beberapa pihak masih mengharapkan OJK tidak hanya sekedar mengumpulkan klausula baku dari pelaku usaha jasa keuangan, namun juga melakukan supervisi terhadapnya (baca juga artikel pengawasan tekfin di sini).
Nah, bagaimana mungkin mensupervisi Klausula Baku dari ribuan bahkan jutaan aplikasi yang ada? Bisa lewat pendekatan kepatuhan (compliance) kepada Apple dan Google selaku pemilik platform sistem operasi mobile terbesar serta Microsoft selaku pemilik platform sistem operasi komputer terbesar. Bisa juga melalui pendekatan teknologi dengan menggunakan Natural Linguistik Understanding, salah satu cabang ilmu Artificial Intelligence yang memahami kalimat dan dapat mendeteksi klausal hukum tertentu yang sudah diajarkan.
Klausula Baku dalam semua aplikasi harusnya dimonitor oleh pemerintah, terutama agar tidak melanggar UU Perlindungan Konsumen dan UU Perlindungan Data Pribadi. Disinilah sebenarnya hadirnya pemerintah melindungi warganya di era ekonomi digital, memastikan Klausula Baku industri digital tidak merugikan warga negaranya.
----
Ir. Satriyo Wibowo, MBA, M.H. adalah sekretaris forum ICSF yang aktif dalam diskusi tata kelola keamanan siber dengan fokus kajian mengenai IoT, Blockchain, SKKNI, serta jurisdiksi siber.
(krs/fyk)