Sains di Balik Terjangan Gelombang Panas Eropa
Hide Ads

Sains di Balik Terjangan Gelombang Panas Eropa

Muhamad Imron Rosyadi - detikInet
Senin, 01 Jul 2019 12:00 WIB
Gelombang panas yang menerjang Eropa. Foto: (Reuters)
Jakarta - 45 derajat Celsius. Itu adalah rekor suhu tertinggi yang tercatat telah terjadi di Prancis baru-baru ini di tengah-tengah gelombang panas di Eropa.

Jangankan bagi warga Benua Biru dengan kecenderungan suhu yang rendah di sana, masyarakat Indonesia dengan iklim tropis pun bisa jadi bakal teriak-teriak jika merasakan cuaca sepanas itu. Sekadar informasi, di Tanah Air sendiri, tercatat rekor suhu tertinggi yang pernah terjadi adalah 39,5 derajat Celsius di Cirebon pada 2015 lalu.




SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lantas, mengapa Eropa bisa mengalami gelombang panas separah itu? Fenomena tersebut terjadi akibat dari udara panas yang mengalir dari Afrika sebelah utara. Ini menyebabkan suhu tinggi langsung menerjang seantero Benua Biru.

Selain Prancis, sejumlah negara seperti Jerman, Spanyol, Swiss, dan Austria juga berpotensi memecahkan rekor suhu tertinggi mereka masing-masing. Meski demikian, ada satu anomali yang terjadi di tengah-tengah gelombang panas di Eropa.

Hal tersebut berlangsung di Britania Raya. Laporan dari The Guardian, yang detikINET kutip pada Senin (1/7/2019), menyatakan bahwa wilayah tersebut masih terbilang lebih sejuk ketimbang negara-negara tetangganya di Eropa.




Ini disebabkan oleh lokasinya yang terbilang cukup jauh dari sumber udara panas kiriman. Selain itu, ada pengaruh juga dari suhu dingin di Laut Utara yang berdekatan dengan Britania Raya.

Kalau sudah begini, maka pertanyaan selanjutnya adalah, apakah ini ada kaitannya dengan perubahan iklim? Jawabannya, mungkin ada keterkaitannya, namun menghubungkan satu peristiwa dengan pemanasan global itu tidak mudah.

Meski demikian, para pakar mengatakan peristiwa tersebut akan terjadi lebih sering karena perubahan iklim, walau tetap menekankan peristiwa cuaca ekstrem seperti gelombang panas terjadi secara alami. Satu yang pasti, fenomena yang sedang melanda Eropa ini sejalan dengan prediksi para ilmuwan.

Untuk tahun ini, para peneliti memperkirakan adanya peningkatan suhu dan lebih banyak lagi gelombang panas. Lebih lanjut, mereka juga menyebut akan terjadi kekeringan berkepanjangan yang diselingi dengan banjir besar di beberapa daerah.




Ironi di balik usaha menghindari suhu panas ekstrem di Eropa

Gelombang panas yang menerjang Benua Biru menyebabkan perubahan perilaku masyarakatnya. Salah satunya dialami oleh Suzette Allegre, 81 tahun, asal Montpellier, Prancis.

Ia harus bangun lebih awal untuk berbelanja. Pada pukul 08.00 pagi dirinya sudah bergegas pulang ke rumah karena suasana terik yang mulai muncul.

Pemerintah Prancis pun juga telah melakukan tindakan dengan meningkatkan pembatasan penggunaan air untuk mengatasi dampak gelombang panas. Ratusan sekolah juga ditutup akibat fenomena ini.




Satu yang menjadi ironi adalah, suhu panas ini mendorong penggunaan pendingin ruangan. Patut diketahui, alat tersebut menggunakan hydrofluorocarbon (HFC) yang disebut lebih kuat dibanding karbon dioksida sebagai gas rumah kaca. Ia tersebar dalam berbagai proses yang dilewati pendingin ruangan, mulai dari pembuatan, pemasangan, hingga menjadi limbah.

British Petroleum (BP) melaporkan bahwa penggunaan pendingin ruangan merupakan faktor kunci dari meningkatnya emisi gas rumah kaca tahun lalu. Ironis memang, ketika alat tersebut mendinginkan ruangan tempatnya terpasang, ia juga sembari memanaskan planet ini.



Tonton video Spanyol Diterjang Gelombang Panas:

[Gambas:Video 20detik]




(mon/krs)