Awalnya Apple memproyeksi pendapatan sekitar USD 89 miliar hingga USD 93 miliar, tapi dalam surat pada investor, Cook menurunkan angka proyeksi menjadi USD 84 miliar. Beberapa faktor jadi penyebab seperti timing peluncuran iPhone, nilai tukar dolar, suplai produk terhambat, dan melemahnya ekonomi dan pendapatan dari penjualan iPhone di China.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fakta-fakta apa yang sudah muncul sebagai indikasi kondisi Apple sedang terancam? Berikut rangkumannya yang dihimpun detikINET.
Target Pendapatan Merosot
Jonatan Ive dan Tim Cook. Foto: Getty Images
|
Surat kepada investor ini diterbitkan hanya beberapa saat setelah Apple menghentikan perdagangan sahamnya selama 20 menit. Setelah perdagangan saham dibuka kembali, saham Apple turun hingga 7%.
Apple menyebut beberapa faktor yang menyebabkan penurunan target pendapatan ini seperti timing peluncuran iPhone, nilai tukar dolar, suplai produk yang terhambat, dan melemahnya ekonomi dan pendapatan dari iPhone di China. Rendahnya pendapatan di China terjadi juga pada lini Mac dan iPad. Dan permintaan untuk iPhone baru di negara lai juga tak sebesar prediksi.
Baca juga: Penampakan iPhone XS Max Seharga Rp 29 Juta |
"Jelas bahwa ekonomi mulai melambat di sana pada paruh kedua dan saya yakin tensi perdagangan antara Amerika Serikat dan China memberi tekanan tambahan pada ekonomi mereka," kata Cook.
Selain itu, dalam suratnya Cook juga menulis bahwa subsidi dari operator yang lebih sedikit, kenaikan harga iPhone berdasarkan kekuatan dolar, dan harga penggantian baterai yang lebih murah menyebabkan permintaan iPhone yang melemah di kuartal pertama.
Beberapa bulan terakhir memang muncul banyak laporan yang menyebut bahwa permintaan terhadap trio iPhone XS, XS Max, dan XR tidak sebesar perkiraan. Terlebih lagi ketika muncul rumor bahwa Apple akan memangkas produksi ketiganya.
Apple Dituding Tak Lagi Inovatif
iPhone XR. Foto: Adi Fida Rahman/detikINET
|
"Tentu saja China merupakan masalah yang utama. Salah satu kesuksesan Apple adalah menjadi sukses di China dan mereka melihat sisi negatif dari pasar yang berkontraksi di sana," ujar Swisher dalam wawancara dengan CNBC.
Selain masalah ekonomi China yang melemah dan tekanan yang muncul dari perang dagang antara Amerika Serikat dan China, Swisher menyebut bahwa Apple juga memiliki masalah inovasi dan pengembangan produk.
Ia juga menyebut bahwa Apple memang merupakan perusahaan yang sangat besar, tapi mereka tidak akan bisa berlindung dari tekanan ekonomi jika mereka tidak meluncurkan produk yang benar-benar menarik.
"Siklus inovasi telah melambat di Apple. Mana produk baru mereka yang menarik dan di mana entrepreneur baru mereka yang menarik dalam perusahaan?" jelas Swisher.
"Banyak inovasi yang muncul dari China, dan ketika ekonomi kalian terpuruk di sana, dalam beberapa hal, kalian juga akan merosot karenanya," pungkasnya.
Program Ganti Baterai Jadi Senjata Makan Tuan
Foto: detikINET/Adi Fida Rahman
|
Apple meluncurkan program penggantian baterai iPhone pada 2017. Yaitu dengan biaya USD 29, pengguna iPhone bisa mengganti baterai iPhonenya dengan baterai baru.
Ini adalah cara Apple untuk meminta maaf pada pengguna iPhone karena mereka dengan sengaja melambatkan iPhone dengan baterai sudah lemah tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Program ini adalah langkah bagus untuk memperkuat citra Apple, namun ternyata berdampak buruk pada penjualan iPhone. Hal ini dikonfirmasi langsung oleh Tim Cook dalam sebuah wawancara dengan CNBC.
Pasalnya dengan penggantian baterai yang nilainya cuma USD 29, pengguna bisa membuat iPhonenya menjadi seperti baru. Hal itu berpengaruh pada niat konsumen untuk membeli iPhone baru dengan harga setidaknya USD 1000.
Ditambah lagi keyakinan Cook saat diwawancara pada awal 2018 yang menyebut ia yakin bahwa program penggantian baterai ini akan berdampak pada niat konsumen untuk membeli iPhone baru. Saat itu Cook menyebut program ini adalah hal yang tepat dilakukan Apple untuk konsumennya.
Rp 814 Triliun Lenyap dalam Sehari
Foto: detikINET/Adi Fida Rahman
|
Nilai saham Apple terjun bebas mencapai hampir 10% pada hari Jumat (4/1), setelah CEO Apple Tim Cook mengumumkan turunnya proyeksi pendapatan. Nilai saham Apple menjadi USD 142,19 per saham saat pasar ditutup dan merupakan nilai terendah sejak bulan Juli 2017.
Turunnya nilai saham Apple juga berimbas kepada nilai valuasinya. Perusahaan yang berbasis di Cupertino, AS ini terpaksa kehilangan USD 57 miliar (Rp 814 triliun). Ini menjadikan perusahaan yang sebelumnya sempat memiliki nilai valuasi mencapai USD 1 triliun sekarang "hanya" memiliki valuasi di bawah USD 700 miliar.
Baca juga: Deretan Hasil Jepretan iPhone XR |
Hal ini menjadikan Apple menempati posisi keempat di peringkat perusahaan publik paling bernilai. Padahal hanya dua bulan yang lalu mereka menempati posisi teratas. Kini posisi Apple berada di bawah Microsoft, Amazon, dan perusahaan induk Google, Alphabet.
Sejak menjadi perusahaan pertama yang memiliki market cap sebesar USD 1 triliun tahun lalu, valuasi Apple memang terus turun. Pada puncaknya, Apple memiliki valuasi sebesar USD 1,1 triliun. Tapi sejak itu mereka telah kehilangan sekitar USD 450 miliar.
Kemalangan Apple di awal tahun ini merembet ke mitra suplai mereka. Seperti AMS, perusahaan yang membuat sensor pengenal wajah untuk iPhone X. Perusahaan asal Austria tersebut terkena efek domino dan kehilangan 20% dari market cap mereka.
Nama Nokia Disebut-sebut
Nokia 6600. Foto: Getty Images
|
Salah satu yang mengeluarkan analisisnya adalah Rod Hall, analis dari Goldman Sachs. Ia memprediksikan kalau nasib Apple bisa sama dengan Nokia.
Hall melihat sebuah kesamaan antara Apple dan Nokia, yaitu sangat bergantung pada konsumen yang memperbarui perangkatnya dengan yang lebih baru secara konstan.
Dan hal itu, menurut Hall, saat ini tak terjadi dengan iPhone karena harganya yang terus menjulang setiap perilisan versi barunya. Namun Hall pun menyebut penurunan permintaan ini bukanlah akhir bagi Apple.
Pasalnya ia tak melihat bukti kuat pada 2019 mendatang -- di luar China -- permintaan akan iPhone tak akan menurun.
"Di luar China, kami tak melihat adanya bukti kuat penurunan konsumen pada 2019 mendatang, namun kami hanya memperingatkan investor bahwa kami percaya tingkat penggantian Apple saat ini sangat sensitif pada tingkat makro karena perusahaan itu sudah mencapai penetrasi pasar yang maksimal untuk iPhone," tulis Hall dalam laporannya.
Harga iPhone Anyar Dianggap Kemahalan
iPhone XS Max dan kemasannya. Foto: detikINET/Adi Fida Rahman
|
Banderol tersebut tentu berat bagi warga di negara berkembang seperti India. Mereka pun beralih ke ponsel Android, khususnya asal China. Ditambah lagi saat ini, banyak konsumen merasa tak perlu membeli iPhone terbaru. Pasalnya, iPhone lama mereka masih baik-baik saja.
"Saya tahu banyak orang masih memakai iPhone lama. Mereka suka dengan headphone jack yang ada. iPhone lama itu bekerja dengan baik dan bahkan lebih cepat karena iOS 12 meningkatkan performa. Mereka suka dengan tombol home fisik dan Touch ID. Baterai baru memperbaiki segalanya," tandasnya.
"Sementara Tim Cook menyalahkan perlambatan ekonomi China dan ketegangan perdagangan, kami berpendapat bahwa menurut kami, harga jual rata-rata iPhone adalah masalah terbesar mengingat spesifikasi yang tidak menarik dan meningkatnya persaingan di China dan Eropa," tutur analis CLSA Nicolas Baratte dikutip dari Business Insider, mengemukakan opini seruoa.
"Secara khusus, kami pikir Huawei seri P dan Mate adalah masalah bagi Apple yang diberikan spesifikasi hardware serupa pada 2/3 atau setengah harga," sambungnya.
"Sangat mudah untuk mengatakan Apple seharusnya memotong harga produk untuk mendorong permintaan," kata dia.