Yansen Kamto: Pejuang Seribu Teknopreneur
Hide Ads

Sosok

Yansen Kamto: Pejuang Seribu Teknopreneur

Achmad Rouzni Noor II - detikInet
Kamis, 22 Okt 2015 19:13 WIB
Yansen Kamto. (blog.telkomsel.com)
Jakarta -

Botak, slengean, kalau bicara ceplas-ceplos dan ke mana-mana selalu pakai celana pendek. Tapi orang ini, hebatnya bisa ikut rombongan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat bersama Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara saat berkunjung ke Silicon Valley. Siapa dia dan ada urusan apa?

Dia bukan Nadiem Makarim pendiri Go-Jek. Apalagi William Tanudjaja yang membangun Tokopedia. Dia juga bukan salah satu dari empat orang founder startup unicorn yang punya valuasi di atas USD 1 miliar -- yang nantinya akan jadi contoh sukses Indonesia saat unjuk gigi di Silicon Valley nanti.

Tapi akhirnya dia tetap ikut diajak jalan ke kawasan teknologi paling bergengsi dunia yang ada di Negeri Paman Sam, karena punya mimpi, misi, visi, dan program nyata untuk bikin seribu digital entreprenuer di Indonesia. Seribu teknopreneur yang akan dibina menjadi the next Nadiem Makarim-nya Go-Jek.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Orang ini punya nama Yansen Kamto, Chief Executive Kibar Kreasi Indonesia. Sosok pria ini sempat diperkenalkan Rudiantara saat bicara tentang rencana kunjungan ke Amerika Serikat, khususnya dalam agenda lawatan ke Silicon Valley.

"Agenda kita ke Amerika ada dua, satu ke bagian timur yang dipimpin oleh Ibu Menlu (Retno Marsudi). Di timur itu tipikal orangnya rapi-rapi ngomongin bisnis. Sementara kita ke bagian barat yang orangnya kebanyakan pakai celana pendek, ya seperti Yansen ini," kata menteri.

Berbekal pengalamannya di dunia inkubasi startup, dan tentunya dengan modal Silicon Valley connection, Yansen pun ikut dipercaya Menteri Rudiantara untuk ikut membantu menyusun roadmap agar valuasi bisnis e-commerce di Indonesia bisa naik sepuluh kali lipat dalam lima tahun mendatang. Demi mewujudkan mimpi menjadikan Indonesia sebagai negara berbasis ekonomi digital terbesar di Asia Pasifik.

Salah satu program yang ia tawarkan saat itu ialah, bagaimana bisa mencetak seribu teknopreneur hingga 2020, dengan valuasi USD 10 miliar atau Rp 138 triliun. Penasaran ingin tahu lebih banyak bagaimana caranya, detikINET pun coba mengulik Yansen untuk dimintai keterangan di sela kesibukannya.

Kesempatan itu pun akhirnya datang. Kebetulan, Yansen dalam tiga hari ini sebelum ia berangkat ke AS, masih menyempatkan diri menjadi juri The NextDev, ajang pencarian aplikasi startup lokal berbakat yang digelar Telkomsel untuk tema smart city.

Bagaimana kisah Yansen sampai akhirnya ia bisa diajak ke Silicon Valley? Dan apa yang bisa ia kontribusikan buat Indonesia dari hasil kunjungan itu, khususnya bagi pembinaan anak-anak muda berbakat di negeri ini? Langsung simak saja hasil obrolan detikINET dengan Yansen yang bicara blak-blakan.

detikINET:
Ada agenda apa di Silicon Valley?
Β 
Yansen:
Yang menjadi agenda kita ke Silicon Valley, kita mau bertukar, tapi dalam posisi kita juga mau jadi pemain. Bukan ke sana kita mau membuka pintu untuk mereka menjajah market kita. Itu pesan yang sangat penting, pada saat ngomong pembinaan, kita berkunjung ke tempat yang jadi knowledge, ya kita mau bertukar.

Jadi apa yang perlu kita tukar? Pertama, startup kita ke sana, dan startup mereka ke sini. Mereka juga mau kok belajar tentang Indonesia. Kalau kita ngomong e-commerce, Amazon dengan Tokopedia berbeda. Indonesia itu challenge-nya di kepulauan, logistiknya beda.

Kedua, bukan hanya pertukaran startup, tapi juga pertukaran mentor. Mungkin kita bisa mulai dengan mentornya kita bawa ke sini. Dan ketiga, standardisasi dari modul pembinaan, kita mau mencetak tim sepak bola nih, pemain kita saja makannya mie instan. Sementara mereka ada ahli nutrisi, dan lain-lain.

Dari situ kita sudah memetakan pemain-pemain besar, modul-modul pembinaan terstandarisasi yang mau kita adopsi, tapi kita modifikasi juga sesuai dengan kebutuhan. Balik lagi, ini harus dikaitkan dengan kita mau jadi pemain, jangan sampai kita salah message. Ini bukan kita mau buka pasar kita buat asing masuk

Benang merahnya, ekosistem kita butuh pembinaan, kita nggak cuma ngomong potensi, kita mau jadi pemain. Terus mau ada momen kunjungan, itu yang kita mau manfaatkan.

detikINET:
Dari tadi kata kunci yang kami tangkap adalah soal pembinaan. Kenapa dengan pembinaan?

Yansen:
Indonesia itu selalu dianggap sebagai market yang besar, kita selalu dianggap punya banyak talenta dan punya banyak potensi. tapi selalu sampai di situ doang. Market, talenta, potensi, selesai. Tapi nggak ada yang jadi.

Kita itu harus memulai campaign untuk membentuk sebuah mindset ke anak muda, kalau kita itu juga bisa jadi pemain, pelaku. Kalau kita cuma market, apa hebatnya? Kalau cuma potensi, terus kenapa? Kita harus mulai berpikir kalau kita juga jadi pelaku, benar-benar harus dimulai dari punya mindset-nya saja dulu. Baru kita ngomongin bagaimana untuk membangun ekosistem.

Yang gue bayangkan begini, kalau mau jadi musisi, langkah pertamanya apa? Belajar musik, terus rekaman di studio? Studionya kita ada. Kalau cuma niat saja jadi musisi, terus rekaman, habis itu jadi CD, nah CD-nya diapain? Bagiin ke teman, di-review majalah musik, diputar di radio, tapi sebelum ke situ, sebelum ke rekaman, ekosistem industri musik ada yang namanya guru les vokal, sanggar tari, guru koreografi pun ada, studio rekaman ada, asalkan mau jadi musisi saja, selesai.

Lengkap, sampai akhirnya lagu kita diputar di radio, ditawarin Sony BMG, Nagaswara. Belum lagi ajang pencarian bakat. Ekosistemnya dari nol, dari nggak punya lirik sampai jadi, dipasarkan, mau sampai Spotify ada.

Tapi kalau ngomongin industri digital teknologi. Misalnya, gue anak UI Fasilkom mau lulus, terus mau bikin startup, terus mau ke mana? Gue mau latihan coding di mana, ada nggak? Nggak ada. Semua nggak ada. Analoginya pakai industri musik saja, orang akan mengerti.

Baru sekarang ada yang namanya co-working space. Itu ibaratnya cuma studio rekamannya saja, dan itu belum tentu jadi. Loe datang ke co-working space, apa bisa loe kerja sendiri? Ya nggak bisa.

detikINET:
Lalu, apa hubungannya antara pembinaan dan Silicon Valley?

Yansen:

Jadi, gue menyodorkan sebuah proposal. Sebuah roadmap ke Pak Rudiantara yang akhirnya membuat gue diajak ke Silicon Valley. Itu gue bukan dipilih karena, 'oh, Yansen selama ini aktif, ya bolehlah diajak'. Tapi karena gue tuh bawa sebuah proposal, sebuah roadmap. Gue punya visi menciptakan seribu digital entreprenur dengan total valuasi USD 10 miliar di tahun 2020. Itu ada roadmapnya.

Tahu-tahu kita mau bikin seribu entreprenur nggak ada roadmapnya, ya enggak akan bisa. Dimulai dari mana? Kita bikin dulu awareness program, seperti seminar dan community meet up. Di situ kita merangsang pembentukan ide.

USD 10 miliar itu dari mana? Ada kalkulasinya. Kalau gue bilang kita mau menciptakan seribu startup, pertanyaan berikutnya adalah, startup yang kayak apa? Yang bernilai itu seperti apa? Startup itu ada katagorinya. Bagaimana caranya supaya ditotal, valuasi dari nilai mereka itu bisa sampai USD 10 miliar atau Rp 150 triliun kalau pakai kurs Rp 15.000.

Untuk mencapai itu, kita mulai dari roadshow. Ini kan nggak bisa tiba-tiba jadi program seperti NextDev, ada roadshow dulu dong. Di 10 kota itu, kita menghadirkan orang yang sudah bikin, tapi tujuannya untuk membuka pikiran dulu. Baru dari situ, siapin tempat dan fasilitator untuk mereka belajar coding.

Ini semua dari nol, dari nggak ngerti apa-apa. Sampai akhirnya startup itu bilang, 'Wah, gue pengen kayak Ahmad Zaky bikin Bukalapak. Gue mau jadi kayak Nadiem bikin Go-Jek. Tapi gimana nih, gue kan nggak ngerti coding?'.

Nah, dari situ kita bikin workshop. Sudah belajar coding, baru ditaruh mereka di hackathon. Di hackathon itu tempat kita cari partner. Misalnya, kita gitaris. Kita bisa nyari drummer, bisa nyari lead vocal, bisa nyari bassis. Jadi, kita bikin prototipe di hackathon. Dari situ, baru kita taruh di bootcamp. Di bootcamp itu untuk memastikan suatu prototipe itu jadi, siap launch. Setelah itu, baru ditaruh di inkubator dan akselerator.

Dari situ, di roadmap yang gue proposed ke Pak Rudiantara, loe baru boleh dapat seed funding setelah lulus dari akselerator. Awal-awal mereka nggak boleh dapat funding dulu.

detikINET:
Nanti, roadmapnya seperti apa?

Yansen:
Jadi, roadmap yang besar ini dibagi dua: pembinaan dan pendanaan. Gue cuma fokus di pembinaan. Tapi pendanaan ada banyak nih. Konglomerat, dari luar, dari korporasi. Bank Mandiri kan bisa funding, Telkomsel juga bisa funding. Pak Menteri kan katanya mau ngumpulin berapa triliun.

Dana CSR (Corporate Social Responsibility) loe ada berapa? Misalnya, Telkomsel bilang ada Rp 500 miliar, Bank Mandiri bilang ada Rp 2 trilliun, Bank Indonesia bilang, wah gue butuh nih untuk meng-encourage entrepreneurship. Semua tinggal dikumpulin saja. Satu orang gopek gopek gopek, tahu-tahu sudah Rp 10 triliun. Pertamina kumpulin, Garuda kumpulin. Ini harus dijadiin program nasional.

detikINET:
Nah, Yansen kan sekarang jadi juri NextDev di Telkomsel. Apa yang bisa dihasilkan dari program itu?

Yansen:
NextDev itu salah satu puzzle dari pembinaan ini. Kita butuh puzzle ini lebih lengkap lagi. Gue nggak mau jadi juri, kalau programnya nggak bagus. NextDev itu kan coba bikin solusi. Intinya, teknologi itu harus bikin hidup jadi lebih baik. Kayak Go-Jek tuh, itu kan bagus. Dari situ kita kepikiran untuk bikin sebuah think tank, tim kerja di seluruh Indonesia, yang fokus memikirkan masalah.

Kebayang nggak sih, kan anak-anak nggak dibrief oleh kita. Di NextDev, misalnya,
coba apa sih masalah kesehatan? Masalah pendidikan nasional bagaimana sih? Guru-guru kita apa sih masalahnya? Transportasi publik kenapa sih? Nah, ini masalahnya, coba anak-anaknya suruh pecahin itu dengan teknologi. Itu yang akan kita sebar. Itu yang namanya think tank untuk memikirkan masalah

Lagi-lagi gue mau tekankan, NextDev ini adalah salah satu puzzle yang harus kita tambahkan dan kembangkan lagi. Dan tentunya, Telkomsel itu nggak bisa kerja sendiri. Kita berpikir harus gandeng siapa lagi. Misalnya, OEM manufacturer, Samsung kek, Mito kek, atau siapa kek yang harus digandeng. Ekosistem itu harus dibangun.

Yang gue percaya, ekosistem itu lima hal. Mulai dari komunitas, habis itu masuk ke kampus, baru habis itu kita ngomongin itu ke media. Sayangnya selama ini, nggak ada yang pernah masukin media ke ekosistem. Padahal buat gue, media itu penting. Dari media, orang bisa dapat inspirasi, bagaimana kisah Nadiem bikin Go-Jek. Dan pemerintah harus dukung, baru kemudian korporasinya.

Jadi, CSR itu nggak sekadar bagi-bagi komputer. Akan lebih bagus lagi kalau dijadikan program pembinaan. Kita itu perlu lebih banyak perusahaan seperti Telkomsel yang memikirkan kontribusi di pembinaan. Perusahaan yang mau berpikir tentang masa depan sebelum itu terjadi.

Kenapa perlu pembinaan? Gue kasih contoh lain ya, gue bilang Indonesia tidak akan pernah main di Piala Dunia sebelum ada pembinaan. Kita ngomong David Beckham dan Cristiano Ronaldo, semua itu main bola dari umur 6-7 tahun.

Kalian ngomong industri K-pop. Itu mereka dari kecil sudah dididik jadi Girls Generation, Wonder Girl. Miss universe yang dari India pun dibentuk dari kecil. Jadi industri kita ini berharap, tahu-tahu nanti ada the next Go-Jek, ya nggak mungkin.

Kita ngomongin Raissa, dia punya suara bagus, nyanyi di YouTube. Tapi loe tau nggak di belakang dia siapa? Ada RAN dan Tangga, baru kemudian masuk ke Sony Music.

Loe ngomongin musik, Jay-Z itu mempromosikan Beyonce. Justin Bieber dipromosiin Usher, baru dari situ kita ngomongin mentoring. Nah, bagaimana semua ini dibikin jadi program yang terstruktur, itu nggak ada yang mikirin. Yang ada, semua mikirin, 'gue mau invest nih'.

Dan industri telko lebih sayang lagi, yang diributin masalahnya OTT-OTT saja. Kenapa nggak jadi pemain, kenapa loe nggak jadi OTT, kenapa loe biarin orang di atas loe mulu. Jangan selalu komplain.

Jadi, harusnya lebih banyak lagi perusahaan kayak Telkomsel, yang mau fokus berkontribusi ke pembinaan, berpikir tentang masa depan sebelum itu terjadi. Bukan cuma masalah invest aja, tapi harus turun ke sumber permasalahannya.

Tidak ada program yang terstruktur saja tapi NextDev sudah bisa begini. Bayangkan kalau Telkomsel mau lebih terstruktur lagi, kalau mau didalamkan lagi pembinaan ini, tapi harus dipikirin next step-nya, setelah ini apa. Padahal, telko itu adalah partner penting untuk startup. Karena, telko bisa membawa mereka ke pasar, dan itu menjadi mitra strategis untuk telko sendiri.

detikINET:
Oke, setelah pembinaan, langkah berikutnya apa lagi supaya startup bisa sukses?

Yansen:

Kembali lagi, kita harus berpikir bagaimana ini bisa sustainable, bisa terus. Pertanyaan terbesarnya adalah, anak-anak ini begitu selesai mau jadi apa? Anak-anak ini potensinya luar biasa, mereka mau berkarya, tapi habis itu mau diapain?

Di ekosistem kan ada coworking space, mentor network, funding itu cuma ujung. investor itu nggak perlu datang sekarang. Misalnya, kayak Go-Jek yang dulu ditolak-tolak, sekarang siapa yang nggak mau invest?

Harusnya, kita nggak melulu membahas tentang funding. Misalnya, loe punya produk bagus, loe bikin Panadol. Orang sakit kepala pasti nyari loe. Tapi, itu pun kalau Panadol yang loe bikin beneran manjur. Masalahnya, Panadol loe itu belum tentu manjur. Nah, itu dulu yang dimanjurin. Dan loe tuh bahkan nggak tahu orang itu sakit kepala karena kenapa, jangan tahu-tahu loe maen bikin aja tuh Panadol.

Tapi sekali lagi, kata kuncinya di pembinaan. Tidak cukup banyak perusahaan yang mau fokus ke pembinaan. Terlalu banyak orang yang cuma fokus pada hasil akhir, dan akhirnya kita nggak bisa benar-benar menciptakan.

Bagaimana kita mau jadi pemain, mereka prosesnya saja nggak ada. Seharusnya, mentoring itu ditaruh di depan. Sebelum ikut kompetisi, semua kita mentoring dulu, kita karantina dulu.

Istilahnya, guru vokalnya dikeluarin dulu, baru habis itu bikin Indonesian Idol. Kita itu beda dengan industri musik. Loe diterima dan kemudian dikarantina, itu karena orang Indonesia sudah banyak yang jago nyanyi. Ini kan belum banyak yang jago bikin startup. Nah, bagaimana justru mendorong dulu mereka bikin startup. Bahkan, industri film saja sudah lebih bagus karena sudah banyak sinetron.

Dan satu lagi yang mesti didorong, Indonesia itu perlu hero di dunia startup teknologi. Kalau loe ngomong gampang gue mau jadi Raisa, jadi Tulus, mau jadi Isyana. Isyana mungkin dulu mau jadi Raisa. Raisa dulu mungkin mau jadi Rossa.

Kemudian di startup, mereka mau jadi Nadiem (Go-Jek). Who else? Akhirnya mau jadinya yang kayak di luar semua. William (Tokopedia) mau jadi kayak Jack Ma (Alibaba). Pahlawannya harus diangkat, tapi dengan porsi yang benar.

Jangan cuma, 'wah, hebat nih mereka dapat investasi USD 100 juta'. Itu gue paling nggak suka. Akhirnya orang bikin startup hanya untuk cari investor, bukan bikin produk dulu.

Kalau gue, mending yang jelas, seperti Brodo. Mereka fokus bikin produk yang berkualitas untuk cowok. Sepatu untuk cowok kan nggak banyak. Habis itu kalau dia cari investor, tujuannya karena dia mau scale ke offline. Dia mau buka toko, bukan cuma mau cepat dapat duit.

Harusnya, produk itu menghasilkan solusi untuk semua masalah. Jangan pernah berpikir, 'gue mau bikin startup, terus gue mau cari investor, gue mau jadi orang kaya'. Itu shortcut banget. Jangan bikin sesuatu cuma untuk menjaring investor doang. Tapi fokus bagaimana menciptakan dampak positif bagi kehidupan bangsa ini saat menggunakan teknologi.

(rou/ash)